Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Forum Dosen Tribun Timur

DPR RI Panik? Kopel Sulawesi: Mau Reduksi Putusan MK

Hal ini diungkapkan Koordinator Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi Herman Kajang dalam forum dosen di redaksi Tribun-Timur.com

Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM/FAQIH IMTIYAAZ
Diskusi Forum Dosen di Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Perubahan pada tubuh UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ternyata telah bergulir pada 2023 lalu.

Hal ini diungkapkan Koordinator Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi Herman Kajang dalam forum dosen di redaksi Tribun-Timur.com pada Kamis (22/8/2024).

"Perubahan keempat UU Pilkada ini sudah bergulir di tahun 2023 lalu. Kopel dapat daftar inventarisasi masalah terakhir di Oktober 2023," kata Herman.

Herman mengaku dalam prosesnya, UU Pilkada ini telah bersih dari daftar inventarisasi masalah.

Namun, putusan MK baru-baru ini memantik adanya perubahan baru.

Dalam pandangannya, DPR RI disebut ingin mereduksi putusan MK.

"Soal putusan MK itu tidak ada disitu, baru dua hari ini sepertinya DPR menambahkan itu dan ingin mereduksi putusan MK," jelasnya.

Diketahui, MK sudah mengeluarkan dua putusan yakni No.60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Putusan MK 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Sementara putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah.

Batas usia ini dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Herman menyebut harusnya politik tunduk pada hukum.

Namun yang terjadi malah sebaliknya.

"Politik ini tidak tunduk pada hukum yang ada," jelas Herman.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Muin Fahmal menyebut saat ini ada tiga putusan yang dilematis.

Putusan MK nomor 60 dan 70, putusan Baleg DPR RI dan Mahkamah Agung soal batas usia. 

"Saya mau berteori putusan yang adil itu adalah putusan sesuai nurani rakyat. Sekarang ada 3 putusan, putusan mahkamah agung, mahkamah konstitusi dan putusan DPR. 

Mana sesuai hati rakyat, semua bisa jawab dengan pengelihatannya," kata Prof Muin Fahmal 

Prof Muin Fahmal menilai putusan yang adil sesuai dengan perasaan hukum masyarakat.

"Tidak semata-mata sesuai norma, boleh jadi sama norma tapi tidak menimbulkan keadilan. Masyarakat tau jawab, mana sesuai perasaan hukum masyarakat. Nurani rakyat yang bicara,bukan pengetahuan hukum," katanya.

Prof Muin Fahmal mengaku respon DPR RI yang menentang putusan MK masuk kategori melanggar hukum.

Bahkan menurutnya bisa saja digolongkan perbuatan Makar.

"Kalau DPR memperbaiki, menolak atau tidak menjalankan putusan MK maka saya berpendapat itu perbuatan melanggar hukum. Bahkan bisa digolongkan perbuatan Makar. Alasannya meronrong kewibawaan negara. Tindak pidana dan dapat dipersamakan Makar," tutupnya (*)

 


Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved