Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Forum Dosen Tribun Timur

KIM Plus Takut Putusan MK, Prof Ma'ruf Hafidz: MK, MA dan DPR Sianre Bale

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ketar-ketir langsung menyetujui draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  

Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM
Diskusi Forum Dosen di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024).   

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) bergetar.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ketar-ketir langsung menyetujui draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  

Guru Besar Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Maruf Hafidz pun buka suara dalam Diskusi Forum Dosen di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024).

Prof Ma'aruf Hafidz menyebut terjadi benturan dalam tubuh MK, Mahkamah Agung (MA) dan DPR RI.

"Saya lihat terjadi benturan kewenangan antara MK, MA dan DPR. Saya anggap Sianre Balei (Makan ikan yang sama) ," jelas Prof Ma'aruf Hafidz.

MK diketahui mengeluarkan dua putusan yakni No.60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Putusan MK 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Sementara putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah.

Batas usia ini dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Putusan ini pun menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya. MA menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.

Baleg DPR RI pun merespon dengan menyetujui RUU Pilkada. Bahkan, DPR RI mengisyaratkan lebih mematuhi putusan MA dibanding MK terkati batas usia.

Prof Ma'aruf melihat respon DPR RI menunjukkan adanya ketakutan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.

Pasalnya putusan MK ini bisa mengubah peta politik di tingkat Pilkada serentak.

"Kelihatan ada arogansi DPR terutama KIM Plus ada ketakutan," jelas Prof Ma'aruf Hafidz

Gelombang protes pun mengalir di masyarakat, utamanya gerakan mahasiswa.

"Memang harus segera diakhiri. Hampir semua kampus se-Indonesi turun ke jalan. Jangan lagi ada hal yang tidak perlu terjadi tapi terjadi

Guru Besar UMI Prof Muin Fahmal menilai putusan MK ini sudah mengikat

"Putusan hakim apalagi hakim MK itu final dan mengikat. Tidak bisa diapa-apai," jelas Prof Muin Fahmal.

Diketahui, dua materi krusial termuat dalam RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada itu.

Pertama pada pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

Kemudian perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan MK yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada.

Prof Muin Fahmal mengaku respon DPR RI yang menentang putusan MK masuk kategori melanggar hukum.

"Kalau DPR memperbaiki, menolak atau tidak menjalankan putusan MK maka saya berpendapat itu perbuatan melanggar hukum. Bahkan bisa digolongkan perbuatan Makar," jelas Prof Muin Fahmal.

"Alasannya meronrong kewibawaan negara. Tindak pidana dan dapat dipersamakan Makar," lanjutnya. (*)

 

 

Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved