WTP Adalah Maut
Opini WTP saat ini nampak didramatisasi dan dijadikan ‘tameng’ untuk mengelabui publik terhadap perilaku sesungguhnya di belakang panggung.
Citra sukses seorang kepala daerah di benak rakyat ataupun wakil rakyat di legislatif hanya menggunakan parameter WTP. Namun, benarkah WTP menandakan telah bebas dari korupsi? jawabnya tidak!
Sampai dengan saat ini belum ada indikator bahwa sebuah lembaga pemerintah baik di pusat, maupun daerah yang mendapatkan opini WTP, dapat dinyatakan dengan pemerintahan yang bersih (clean goverment).
Faktanya opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).
WTP Jadi Alat Transaksi Suap
Tagline ‘WTP adalah Maut’ benar-benar tersaji gamblang di kasus eks Pejabat Kementerian Pertanian yang sidangnya masih berjalan hingga kini.
Jual beli opini WTP nampak bukan sekadar isu liar. Opini WTP disadari atau tidak akan menjadi bom waktu bagi pimpinan K/L akan citranya yang sebenarnya dalam mengelola akuntansi, penatausahaan, dan pelaporan keuangan.
Kasus transaksional opini WTP harus dijadikan pembelajaran bagi kementerian/lembaga untuk tidak perlu mengambil jalan pintas demi menggapai kebanggaan opini WTP.
Hal itu harus dicapai dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang melanggar hukum.
Jangan sampai perburuan penghargaan atas WTP menjadi awal siklus lingkaran korupsi.
Jika oknum BPK sebagai auditor eksternal bisa dipengaruhi bahkan dapat dibeli, lalu wibawa auditor internal di kelembagaan juga bermain mata tanpa ada usaha pengawasan melekat secara internal, maka dipastikan siklus korupsi akan terjadi.
Indikatornya yakni ketika entitas kelembagaan sudah berlomba-lomba mendapatkan opini WTP.
Solusi Agar WTP Tidak Menjadi ‘maut’
BPK sebagai institusi pemberi opini, sangat perlu untuk mencegah sekecil apa pun celah terciptanya hubungan ‘istimewa’ bernuansa kolutif antara auditor dan lembaga yang diaudit.
Para penyelenggara negara, eksekutif, legislatif, BPK, bahkan rakyat sekalipun haruslah sadar sepenuhnya bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir.
Ia hanya intermediate target, sedangkan tujuan utamanya ialah keuangan negara dikelola sepenuhnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Masa Depan Penerimaan Negara Indonesia di Era Digital: Dari Pungutan ke Kepercayaan |
![]() |
---|
Bukan Rapat Biasa, Ini Strategi Cerdas Daeng Manye Mencari 'The Next Top Leader' di Takalar |
![]() |
---|
Antisipasi Krisis Air Bersih: Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Harga Mati |
![]() |
---|
Annar: Saya Diminta Rp5 Miliar agar Bebas Hukum |
![]() |
---|
Seaplane Mengangkasa di Langit Sulawesi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.