Apindo Sulsel Khawatir Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS Terus Menurun
Olehnya, pihaknya berharap pemerintah terus melakukan intervensi kebijakan agar stabilisasi dan penguatan nilai tukar rupiah dapat tercapai.
TRIBUN-TIMUR.COM - Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) dinilai berdampak buruk bagi iklim usaha dalam negeri. Hal ini membuat para pengusaha resah.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel, Suhardi mengatakan, pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS membuat para pengusaha khawatir dan membuat tak kondusif bagi dunia usaha
Menurutnya, level Rp16 ribu saja sudah sangat mendongkrak cost of doing business (uang yang dihabiskan saat perusahaan berusaha menghasilkan uang) di Indonesia menjadi semakin mahal.
“Tidak affordable dan tidak kompetitif untuk pertumbuhan industri dalam negeri maupun untuk ekspor,” kata Suhardi, saat dihubungi Tribun-Timur.com, Selasa (18/6).
Suhardi menjelaskan, kenaikan cost of doing business juga tidak terbatas pada kenaikan beban impor bahan baku atau bahan penolong saja.
Namun, juga berimbas pada komponen beban-beban usaha lain. Misalnya seperti beban logistik atau transportasi, beban keuangan, dan lain-lain.
Kondisi tersebut, kata dia, akan berimbas pada banyak hal yang mengganggu perputaran roda usaha.
Hal ini pun berdampak pada risiko penurunan kinerja usaha, penurunan potensi penciptaan lapangan kerja, kenaikan risiko non-performing loan (NPL), penurunan kapasitas produksi dan lain-lain.
“Ini baru dampak terhadap industri existing. Padahal, pelemahan nilai tukar juga akan berimbas negatif pada realisasi investasi dan penerimaan investasi asing,” jelasnya.
Suhardi menyebut, kondisi ini juga akan berdampak pada peningkatan volatilitas atau spekulasi pasar keuangan.
Dimana cenderung akan semakin memberikan tekanan terhadap stabilitas makro ekonomi nasional.
“Para pengusaha resah karena pasar domestik akan semakin lesu dan semakin menahan diri untuk melakukan ekspansi konsumsi bila pelemahan nilai tukar terus dibiarkan,” sebut Suhardi.
Olehnya, pihaknya berharap pemerintah terus melakukan intervensi kebijakan agar stabilisasi dan penguatan nilai tukar rupiah dapat tercapai.
Menurutnya, hal tersebut memang tidak mudah karena pelemahan nilai tukar ini terjadi akibat kondisi eksternal yang di luar kendali Indonesia.
“Namun, per hari ini kata dia pelemahan rupiah menjadi mata uang terdalam nomor tiga di ASEAN secara year-to-date,” katanya.
Suhardi menambahkan, kondisi ini harus diwaspadai dan segera dikoreksi bila kita tidak ingin ekspor dan FDI (penanaman modal asing) semakin tergerus.
Sebab, kedua aktivitas tersebut menciptakan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan stabilitas makro ekonomi, industrialisasi, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Indonesia secara keseluruhan.
“Jika kinerja serta daya saing ekspor dan FDI tidak dijaga, maka pertumbuhan ekonomi RI akan makin melemah. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat jadi terpukul,” tambah Suhardi.
Pemerintah Harus Intervensi
Ketua Apindo Makassar Muammar Muhayyang meminta pemerintah lebih kencang melakukan intervensi untuk membendung pelemahan rupiah.
Menurut Muammar, kondisi pelemahan rupiah ini sangat meresahkan para pengusaha.
“Kami terus memantau pergerakan dari kurs dollar ini. Ini sangat mengkhawatirkan juga,” kata Muammar, Selasa (18/6).
“Kita berharap pemerintah melakukan intervensi yang cukup dalam atau lebih kencang menahan dollar ini agar tidak naik dan seperti ini,” katanya.
Muammar mengatakan, jika kondisi ini terus dibiarkan, akan mengganggu proses produksi, dan pembelian material yang memang membutuhkan barang-barang impor.
Kendati demikian, ia menilai pelemahan rupiah ini belum bisa dikatakan akan menyebabkan gelombang pemutusan hubungan Kerja (PHK).
Pasalnya, masih banyak langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk meredam pelemahan rupiah.
“Kalau dilihat menyebabkan gelombang PHK, belum bisa dikatakan akan terjadi karena masih ada beberapa langkah, termasuk bahan baku yang tersimpan di pabrik-pabrik,” tambah Muammar.
PHK Bertahap
Ketua Apindo Shinta W Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.400 per dolar AS sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.
"Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing," ujar Shinta saat dihubungi Tribun, Selasa (18/6).
Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas atau memiliki market yang “vulnerable” atau dalam arti market share akan berkurang signifikan atau hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yang diproduksi meningkat) akan memiliki resiko PHK, pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha.
"Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara massive pada saat yang bersamaan dalam waktu dekat, kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi rupiah," ucap Shinta.
Industri yang akan paling rentan mengalami PHK tentu adalah industri-industri yang memang sudah berusaha untuk bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.
"Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global," terang Shinta.
Padahal beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, suku bunga dan beban-beban opex lainnya. Depresiasi rupiah, menurut Shinta, semakin menambah beban-beban opex ini dan berimbas pada penurunan daya saing industri tersebut di pasar ekspor.
"Untuk industri lain, yang juga vulnerable terdampak negatif produktivitasnya adalah industri-industri manufaktur yang memiliki proporsi impor bahan baku atau penolong yang tinggi seperti industri mamin, industri automotif, industri produk elektronik, dan lain-lain," ujar Shinta.
Shinta berujar, probabilitas terjadinya PHK di industri-industri tersebut jauh lebih kecil dibandingkan industri padat karya berorientasi ekspor karena basis pasar industri-industri ini umumnya adalah pasar domestik yang relatif stabil pertumbuhannya.
"Meskipun bila depresiasi rupiah terus berlanjut dan berimbas pada inflasi kebutuhan pokok masyarakat, ya tentu akan ikut turun juga potensi pasarnya dan membuat industri-industri manufaktur nasional yang berorientasi pasar domestik juga ikut tertekan kapabilitasnya untuk mempertahankan tenaga kerja existing," tuturnya.
Sebelumnya, berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup di level Rp16.412 per dolar AS.
Mata uang Indonesia melemah 142 poin atau minus 0,87 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara berdasarkan data Google Finance per Selasa (18/6) pagi, dolar AS berada di posisi Rp16.432 atau turun 0,33 persen.
Meski demikian, dolar AS juga sempat berada pada level Rp16.486 alias hampir menyentuh Rp16.500. (*)
Apindo Sulsel
nilai tukar rupiah anjlok
Nilai Tukar Rupiah Hari Ini
Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Hari Ini
uang dollar AS
Apindo Sulsel: Penurunan BI Rate Langkah Tepat Dorong Pertumbuhan Ekonomi |
![]() |
---|
Pengangguran Tinggi, Apindo Sulsel: Wirausaha Harus Dibangun, Jangan Berharap Dunia Kerja |
![]() |
---|
Munafri Arifuddin Tantang Apindo Gaet Banyak Investor ke Makassar |
![]() |
---|
Amaliah Ramadhan Apindo Sulsel Resmi Digelar, Ada Tebus Murah Sembako Rp50 Ribu |
![]() |
---|
Ketua Apindo Sulsel Harap Penentuan UMP Libatkan Pekerja dan Pengusaha |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.