Opini
Mengubah Kegagalan Menjadi Keunggulan
Perhelatan MotoGP 2022 di Mandalika bisa menjadi cerita yang menarik bagaimana seharusnya memaknai kegagalan.
Kun Wahyu Wardana
Direktur Kepatuhan SDM dan MR PT Asuransi Kredit Indonesia
KEGAGALAN acap dimaknai sebagai kesalahan atau aib.
Tak ayal, kegagalan dimaknai sebagai kesalahan yang seharusnya dihindarkan.
Dampaknya, banyak orang atau organisasi yang kemudian memilih untuk tetap berada di zona nyaman dan enggan melakukan perubahan atau inovasi ketimbang harus menderita kegagalan.
Perhelatan MotoGP 2022 di Mandalika bisa menjadi cerita yang menarik bagaimana seharusnya memaknai kegagalan.
Perihal drama Marquez yang batal tampil karena cedera yang dialaminya. Ia terjatuh dalam sesi pra racing.
Tidak tanggung-tanggung Marquez jatuh hingga 4 kali. Jatuh sesaat sebelum lomba dalam sesi warm up merupakan yang terparah.
Meski terhindar dari cedera berat, kepalanya yang terbentur mengakibatkan Marquez mengalami gangguan penglihatan, pandangannya ganda atau diplopia.
Jatuhnya Marquez menandai kegagalannya meraih poin dalam perebutan gelar juara Motor Grand Prix di tahun itu.
Menyaksikan lomba seperti MotorGP bisa menjadi analogi bagaimana kita menjalani kehidupan.
Bahwa kehidupan berjalan tidak selamanya mulus sesuai harapan. Selalu ada risiko kegagalan yang mengintai dalam setiap etape mencapai tujuan.
Ironisnya, kegagalan seakan merupakan kosa kata yang ingin ditiadakan dari kamus kehidupan.
Tentunya itu merupakan kemustahilan. Setiap fase dari proses pencapaian secara inheren akan selalu ada risiko kegagalan.
Tahun 2021 statistik menunjukkan, Marquez harus mengalami jatuh hingga 22 kali. Kedua terbanyak setelah Iker Lecuonda.
Di Sirkuit Mandalika sendiri, Marquez sudah jatuh empat kali.
Semua momen kecelakaannya terjadi sepanjang seri kejuaraan MotoGP Indonesia berlangsung, dari Jumat hingga Minggu, 18-20 Maret 2022.
Meski demikian selalu ada optimisme di balik kejatuhannya, sebagaimana diungkapkan Marquez dengan penuh keyakinan, “’On Sunday we all have the same goal: we want to win. But if you crash, tomorrow is also a day. Life goes on."
Dalam konteks itu, menarik untuk mencerna pendapat Susan Kahn dalam bukunya Bounce Back (2019).
Bahwa kegagalan bukanlah momok yang membuat kita ketakutan untuk melangkah atau berbuat sesuatu yang baru.
Bahkan menurutnya, ketika kita ingin mengecap kesuksesan, maka langkah awal yang perlu ditempuh adalah dengan menerima bahwa kegagalan merupakan sesuatu yang tak terelakkan.
Pandangan ini tentunya secara psikologis dapat dipahami bahwa kegagalan merupakan peristiwa yang terjadi kepada siapapun, sehingga tidak perlu merasa sendiri dan menjadi terpuruk karenanya.
Meski banyak success story dari orang-orang terkenal seperti Thomas Edison: Sang penemu yang terkenal karena penemuan lampu pijar ini pernah mengalami ribuan kegagalan sebelum akhirnya berhasil menciptakan lampu pijar yang sukses.
Walt Disney: Pendiri Disney juga mengalami banyak kegagalan sebelum kesuksesannya.
Salah satu contohnya adalah saat dia dipecat dari sebuah surat kabar karena dianggap kurang kreatif dan tidak memiliki ide yang baik.
Demikian pula Steve Jobs yang bahkan lebih ironis lagi pernah dipecat dari Apple, perusahaan yang dia bidani kelahirannya.
Toh, pada akhirnya mereka mampu mencapai kesuksesan setelah kegagalan yang membekapnya.
Namun, tetap saja bagi sebagian orang, kegagalan sebagai momok yang menakutkan.
Sehingga betapa banyak orang yang gagal pada akhirnya menjadi orang-orang yang kalah.
Tak lagi gigih berjuang mewujudkan mimpinya. Meski mereka menyadari bahwa orang-orang sukses pasti pernah melewati jalan-jalan kegagalan.
Sebabnya tak lain faktor mental yang dipengaruhi mindset. Tidak siap menerima kegagalan dan meyakini kegagalan berarti akhir dari ikhtiar.
Perubahan Mindset
Menurut Amy C. Edmondson dalam tulisannya Strategies for Learning from Failure (Business Harvard Review, April 2011) menyatakan bahwa kegagalan dan kesalahan hampir tidak dapat dipisahkan dari organisasi, dan budayanya.
Oleh karena itu, pada titik tertentu terbentuk paradigma psikologis bahwa mengakui kegagalan berarti dapat mentoleransi kesalahan sampai pada titik tertentu.
Itulah sebabnya ada organisasi yang telah beralih ke budaya learning organization di mana manfaat belajar dari kegagalan dapat sepenuhnya diimplementasikan.
Namun bagi sebagian organisasi yang lain, menurut pandangan Edmondson, bahwa paradigma yang terbentuk dimulai dari keluarga hingga terbawa ke organisasi telah membentuk budaya takut gagal dan cenderung menyalahkan pihak yang dianggap penyebab kegagalan.
Paradoks inilah yang dipotret oleh Edmondson ketika menanyakan kepada para eksekutif berapa banyak estimasi mereka dari terjadinya kegagalan dalam organisasi yang sepenuhnya merupakan kesalahan.
Para eksekutif seringkali mengakui bahwa hanya sedikit kegagalan yang benar-benar pantas disalahkan, biasanya berkisar antara 2 persen hingga 5 persen.
Namun, ketika ditanya bagaimana kegagalan tersebut diperlakukan, persentase yang jauh lebih tinggi, berkisar antara 70 persen hingga 90 persen, dianggap sebagai kegagalan yang pantas disalahkan.
Kesenjangan persepsi ini dapat memiliki dampak yang merugikan pada pembelajaran dan perbaikan organisasi.
Ketika kegagalan secara berlebihan dianggap sebagai kesalahan, karyawan mungkin enggan melaporkannya, sehingga terlewat kesempatan untuk pembelajaran dan pertumbuhan.
Penekanan pada kesalahan dapat menciptakan budaya ketakutan dan penghindaran daripada budaya yang mendorong transparansi, inovasi, dan ketahanan.
Kegagalan adalah Kesempatan
Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk memupuk budaya yang melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan meningkatkan diri daripada menyalahkan.
Dengan memindahkan fokus dari kesalahan ke pemahaman akan akar penyebab kegagalan dan mengidentifikasi pelajaran yang dipetik, organisasi dapat lebih baik memanfaatkan kegagalan sebagai pengalaman berharga untuk pertumbuhan dan pengembangan.
Alih-alih terlalu berfokus kepada kegagalan yang memang tak terhindarkan, lebih baik memastikan bagaimana sebuah organisasi memiliki perencanaan yang baik dan disiplin eksekusi atas perencanaan tersebut.
Jika terjadi kegagalan dalam proses, maka sebagaimana prinsip yang berlaku dalam manajemen risiko, jadikan sebagai Loss Event Database (LED) yang merupakan database yang mencatat kegagalan dan kerugian yang terjadi dalam proses bisnis organisasi.
Menjadi peristiwa kerugian yang dapat memberikan insight yang berharga bagi organisasi bagaimana upaya pembenahan (room for improvement) dilakukan dalam proses bisnis organisasi.
Mengubahnya menjadi keunggulan buat organisasi dan menjadikannya memiliki resiliensi menghadapi tantangan lingkungan yang semakin dinamis.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.