Opini
Revitalisasi Penjaringan Pemimpin di Pilkada, Pileg dan Pilpres
Kenapa? Kita “dipaksa” memilih orang asing; tak kita kenal pada Pemilihan Umum (Pemilu).
Oleh: Lucky Caroles; Pengamat transportasi yang kesehariannya bekerja sebagai dosen Transportasi dan Teknik Prasarana di Sekolah Pascasarjana Unhas Makassar
Dahulu, kala masa kecil, saya sangat senang menyanyikan lagu “Pemilihan Umum”.
Rasanya, itu adalah satu-satunya lagu paling asyik.
Didendangkan, di dekade 1980-an, tentunya bersama lagu anak-anak lainnya.
Memori kecilku menggambarkan pemilu sebagai aktivitas berbangsa-dan bernegara mengasyikkan: orang ramai berkumpul, banyak bendera, umbul-umbul, dan banyak lagi hal-hal menarik bagi kami, kaum kanak-kanak.
Ingin ikut pemilu namun belum cukup umur.
Beranjak remaja dan dewasa, saya tiba di level bukan lagi penggembira, melainkan jadi partisipan.
Saya jadi “penyumbang suara yang sangat berarti” karena ada iklan masyarakat yang berkata, “Satu suara Anda sangatlah berarti.”
Kata-kata itu membuat saya berapi-api.
Akronim itu sangat besar artinya karena membawa saya pada paradigma; suara saya ternyata punya pengaruh terhadap negara saya.
Bahkan, ada lagi kata-kata “Suara Tuhan adalah Suara Rakyat”.
Ini membuat saya bertambah semangat dan betul-betul respek pada proses pemilu di negara tercinta ini.
Seiring bertambahnya usia saya dan negara ini, saya mengalami banyak hal. Mulai mempertanyakan berbagai soal.
Jawaban kudapat seperti “tersesat dalam labirin”. Oh iya, saya lupa menyebutkan bahwa keikutsertaan saya sebagai pemilih pemilu pertama kali terjadi ketika saya berusia 19 tahun.
Itu saat sudah berstatus mahasiswa dan sepenuhnya kebutuhan dan keinginan hidup (masih) dibiayai orangtua.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.