Opini
Dampak Krisis Pangan Bagi Kesehatan
Harga pangan yang terus naik menyebabkan sejumlah negara besar melakukan proteksi terhadap pangan mereka yang menyebabkan defisit ketersediaan pangan.
Oleh: dr Airah Amir
Dokter dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat
Krisis pangan global yang terjadi saat ini memengaruhi kondisi ketersediaan pangan di banyak negara termasuk Indonesia.
Harga pangan yang terus naik menyebabkan sejumlah negara besar melakukan proteksi terhadap pangan mereka yang menyebabkan defisit ketersediaan pangan.
Apalagi tak sedikit negara yang menggantungkan ketahanan pangannya pada impor bahan pangan dari negara lain.
Tak jarang pemerintah melakukan hal pragmatis untuk menutupi kebutuhan akan pangan seperti impor beras.
Menurut BPS, Indonesia mengimpor beras 3 juta ton pada tahun 2023 yang merupakan impor terbesar dalam 5 tahun terakhir.
Padahal di banyak daerah yang merupakan lumbung beras sedang melakukan panen raya.
Akibatnya harga hasil panen menjadi anjlok mengakibatkan kerugian pada petani lokal.
Tak sedikit pula para petani cabai atau peternak telur yang membuang produksi cabai dan telur mereka akibat harga jual hasil usahanya mengalami penurunan drastis.
Padahal faktanya permintaan pasar selalu ada terhadap hasil usaha petani dan peternak tetapi mengapa hal ini banyak terjadi di berbagai daerah?
Mengapa sistem yang berjalan selama ini seakan tidak pro terhadap petani dan peternak?
Dan pun jika pasokan tersedia, mengapa harganya begitu mahal sehingga menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya dengan gizi seimbang?
Padahal Indonesia adalah negara yang kaya dan subur, berlimpah sumber daya pangan.
Fakta saat ini adalah nampak begitu besarnya ketergantungan Indonesia pada dunia untuk memasok kebutuhan dalam negeri terutama pangan dan energi.
Malangnya, komoditas tersebut dibeli dengan dolar yang menyebabkan komoditas dibeli dengan harga yang tidak murah.
Akibatnya harga komoditas yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat yang berefek pada kolapsnya industri akibat barang produksi yang tidak laku di pasaran.
Yang terdampak berikutnya adalah para pekerja yang harus mengalami PHK untuk menutupi biaya produksi.
Gelombang PHK menyebabkan angka kemiskinan dan kelaparan meningkat berujung pada malnutrisi khususnya pada anak.
Inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga pangan haruslah diimbangi dengan kenaikan pendapatan atau program insentif dari pemerintah seperti biaya kesehatan gratis dan bantuan bahan pangan bagi yang membutuhkan.
Namun inflasi yang terus terjadi menyebabkan daya beli semakin turun yang menyebabkan angka kemiskinan semakin bertambah.
Ancaman inflasi pangan yang terjadi menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang.
Apalagi harga kebutuhan pangan yang mengalami kenaikan harga yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga membatasi referensi makanan yang menyebabkan semakin menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Asupan gizi yang tak seimbang menyebabkan meningkatnya potensi warga menderita penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular.
Penyakit menular seperti tuberkulosis dan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus dengan atau tanpa komplikasi.
Jika dahulu penyakit tidak menular lebih banyak menyerang warga usia lanjut, saat ini justru menjangkiti kelompok usia produktif.
Hal ini akibat perubahan pola makan serta komposisi makanan yang berubah ke arah tinggi gula, garam dan lemak serta rendah serat.
Di lain sisi, sulitnya masyarakat mengakses makanan bergizi akibat kemiskinan menyebabkan stunting atau kerdil pada anak.
Kondisi di atas berdampak besar bagi sumber daya manusia kelak sebab pada tahun 2030, Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi yaitu jumlah warga usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia non produktif.
Maka petaka membayangi jika warga usia produktif menderita penyakit akibat asupan gizi yang tak seimbang seperti diabetes mellitus dan stunting.
Makanan instan minus nutrisi pun kerap jadi pilihan masyarakat saat ini sekadar memenuhi urusan perut di tengah kelangkaan bahan pangan.
Operasi pasar pun menjadi pilihan pragmatis yang digencarkan pemerintah untuk mengantisipasi kelangkaan dan gejolak harga, padahal operasi pasar ini faktanya tidak menjangkau setiap wilayah dan semua kalangan yang membutuhkan.
Sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi harga di pasar.
Sistem saat ini juga menjadikan peran negara sangat minim dalam mengelola urusan rakyat.
Pelayanan urusan publik menjadi ladang kapitalisasi dan diserahkan kepada pihak swasta.
Termasuk dalam rantai pasokan pangan mulai produksi, distribusi, dan konsumsi lebih banyak di tangan korporasi yang tentunya berorientasi mencari untung.
Lemahnya pengawasan pada rantai tata niaga pangan juga menyebabkan mafia dan kartel pangan tumbuh subur.
Dalam kehidupan sehari-hari, kenaikan harga pangan telah lama dirasakan masyarakat.
Masyarakat tentu membutuhkan kepastian harga dan kemudahan akses bahan pokok.
Masyarakat berulang kali terombang ambing oleh kenaikan harga bahan pangan yang diikuti kelangkaan bahan pangan.
Tak perlu ditanyakan bagaimana kesulitan masyarakat setiap hari berupaya mengisi piring dengan makanan berkualitas namun tetap terjangkau.
Keberpihakan pemerintah dan pengelola kebijakan sudah saatnya diwujudkan untuk memastikan kesediaan pasokan dan mencegah fluktuasi harga pangan yang tentu saja membutuhkan regulasi sistematis.
Dalam Islam, ketersediaan pangan tak sekadar masalah ketahanan tetapi juga kedaulatan pangan.
Negara harus menjamin ketersediaan, stabilitas, keterjangkauan, dan konsumsi atas produk pangan sebab negara memiliki fungsi sebagai ri’ayah atau pengurus bagi masyarakatnya. Wallahu a’lam.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.