Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sejarah PPP

PPP Dari Bentukan 'Paksaan' Soeharto Hingga Dualisme Terus-terusan, Kini Terdepak dari Senayan!

Pada Pemilu 2024 ini PPP gagal total meski mendapat sokongan dari mantan elit Gerindra yang juga eks Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno.

Editor: Alfian
ist
Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dalam catatan sejarah. 

PPP tetap menjadi partai terbesar kedua dari tiga partai yang diperbolehkan pada masa Orde Baru. Menjelang pemilihan legislatif tahun 1997, muncul fenomena Mega Bintang, dimana simpatisan PDI pro-Megawati Soekarnoputri bergabung dengan PPP untuk melawan Golkar.

Di masa kampanye Pemilu 1997, yang menonjol dari fenomena Mega-Bintang adalah berlangsungnya arak-arakan massa bersepeda motor di jalan-jalan dengan mengibarkan bendera PPP, atribut-atribut merah PDI-pro Megawati, foto Megawati, foto Mudrick Sangidu, serta atribut lain perpaduan merah dan hijau.

Pemilu 1997 yang membuat kepercayaan diri PPP muncul lagi dengan peningkatan perolehan suara, hanya dirasakan sekejap saja.

Pada bulan Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya dan pemerintahan Orde Baru telah jatuh. PPP kembali ke ideologi Islamnya dan mempersiapkan diri untuk pemilihan legislatif tahun 1999, yang memenangkan 11 % suara.

PPP seperti Golkar dan PDI setelah jatuhnya Soeharto juga mengalami perpecahan internal partai.

Pada pemilu 1999, muncul pecahan pecahan PPP yang ikut berkontestasi.

Mantan ketua PPP Djaelani Naro dan beberapa tokoh partai PPP mendirikan Partai Persatuan karena kecewa atas hasil Muktamar PPP 1998 yang menghasilkan Hamzah Haz sebagai ketua umum.

Tujuan didirikannya Partai Persatuan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggembosi PPP, justru menampung kader PPP agar tidak lari ke partai lain. Banyaknya partai baru serta pergeseran ideologi dan tren elektoral membuat suara PPP turun.

Menurut petinggi PPP Dimyati Natakusumah, seluruh partai Islam yang ada di Indonesia sejak 1999 adalah partai pecahan PPP.

Pada Sidang Umum MPR 1999, PPP merupakan bagian dari Poros Tengah, yaitu koalisi politik partai-partai Islam yang dibentuk oleh Ketua MPR Amien Rais untuk melawan dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Sukarnoputri. PDI-P telah memenangkan pemilihan legislatif dan Megawati diperkirakan akan memenangkan kursi presiden.

Namun, pada tahap ini MPR masih bertanggung jawab untuk memilih presiden dan wakil presiden, dan partai-partai Islam di Poros Tengah tidak menginginkan presiden perempuan.

Sebaliknya, mereka mencalonkan dan berhasil mengamankan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

Dalam pemilihan wakil presiden, Ketua PPP Hamzah Haz mencalonkan diri melawan Megawati dan dikalahkan.

PPP adalah sekutu politik Wahid pertama yang kecewa terhadapnya. Permasalahan utama PPP dengan Wahid adalah kunjungannya ke Israel dan kesan bahwa ia bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan negara tersebut.

Hamzah Haz yang bertugas di Kabinet Persatuan Nasional sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, langsung mengundurkan diri dari jabatannya hanya sebulan setelah Wahid mengangkatnya.

Banyak sekutu Wahid lainnya yang mengikuti dan pada bulan Juli 2001, PPP ikut serta dalam menyingkirkan Wahid dari kursi kepresidenan dan menunjuk Megawati sebagai presiden.

Hamzah kemudian terpilih menjadi wakil presiden setelah mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Akbar Tanjung di pemilihan wakil presiden.

Pada tahun 2002, muncul gerakan untuk menggulingkan Hamzah Haz dari posisi ketua umum dengan alasan Hamzah tidak mampu mengelola posisi ketua umum dan Wakil Presiden secara efektif bersamaan. Gerakan ini dipimpin oleh Zainuddin M.Z., seorang pendakwah Islam dan ketua kepemimpinan pusat PPP.

Zainuddin, bersama dengan anggota partai yang tidak puas, awalnya berencana untuk mendirikan partai baru bernama PPP Reformasi.

Upaya tersebut gagal dan pada tanggal 8 Januari 2002, Zainuddin secara resmi mengundurkan diri dari PPP dan mengumumkan pembentukan partai politik baru bernama PPP Reformasi pada tanggal 20 Januari 2002.

Untuk mematuhi hukum pemilu yang melarang penggunaan nama dan simbol partai yang sudah ada, PPP Reformasi mengalami transformasi, menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR).

PPP memperoleh 8,1 % suara pada pemilu legislatif tahun 2004, turun dari 10,7 % perolehan suara pada tahun 1999, namun cukup untuk mempertahankan posisinya sebagai partai dengan perwakilan terbaik ketiga di legislatif, di belakang PDI-P dan Golkar.

Dalam pemilihan presiden, PPP semula tidak memikirkan calon presiden pada pemilu presiden 2004.

Mereka berharap Hamzah terpilih menjadi cawapres Megawati dan melanjutkan kemitraan Presiden/Wakil Presiden Megawati/Hamzah.

Namun Megawati memilih Ketua NU Hasyim Muzadi sebagai cawapresnya.

PPP kemudian terus menunggu, masih berharap Hamzah Haz terpilih sebagai calon wakil presiden. Akhirnya, sehari sebelum pendaftaran calon presiden/wakil presiden ditutup, Hamzah maju dan menjadi calon presiden dari PPP.

Pasangannya adalah Agum Gumelar, yang menjabat Menteri Perhubungan pada Kabinet Megawati. Pencalonan Hamzah sebagai presiden tidak berhasil karena ia hanya memperoleh 3,1 % suara dan berada di urutan kelima.

Pada bulan Agustus 2004, PPP mengumumkan bahwa mereka membentuk Koalisi Kebangsaan bersama dengan PDI-P, Golkar, Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) untuk mendukung Megawati memenangkan pemilihan presiden melawan Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun Yudhoyono akan muncul sebagai pemenang dan PPP akan membelot dari koalisi nasional ke kubu Yudhoyono. Mereka dihargai dengan diberi jabatan di kabinet.

PPP menyelenggarakan Muktamar Nasional ke-6 di Jakarta pada tanggal 30 Januari hingga 3 Februari 2007. Pada hari terakhir Muktamar, Suryadharma Ali muncul sebagai Ketua PPP baru menggantikan Hamzah.

Suryadharma menjabat sebagai Menteri Negara Koperasi dan Usaha Menengah Negara pada Kabinet Presiden Yudhoyono.

Ia mengumumkan akan tetap menjabat menteri sekaligus merangkap jabatan Ketua Umum PPP.

Kepengurusan periode kepemimpinannya didampingi oleh Wakil Ketua Umum Chozin Chumaidy, Irgan Chirul Mahfiz (Sekretaris Jenderal), Suharso Monoarfa (Bendahara), Bachtiar Chamsyah (Ketua Majelis Pertimbangan Pusat), KH Maemoen Zubair (Ketua Majelis Syariah), dan Barlianta Harahap (Ketua Majelis Pakar).

Pada pemilihan legislatif tahun 2009, partai ini menempati posisi keenam dengan perolehan 5,3 persen suara, dan meraih 37 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.

Sepanjang pemilu, partai ini memperoleh suara dari para lelaki Muslim lansia di seluruh pedesaan dan perkotaan, di dalam dan di luar Pulau Jawa.

Dalam pemilihan presiden, terjadi perbedaan dalam menentukan capres yang akan didukung. Ketua Majelis Pertimbangan Partai Bachtiar Chamsyah, yang juga berasal dari Parmusi, mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Padahal, pada saat yang sama, Ketua DPP PPP Suryadharma Ali tengah melakukan penjajakan dengan calon presiden lain dalam program PPP mendengar. Kondisi ini cukup menggambarkan keterbelahan dalam internal PPP.

Menurut Hasto Kristiyanto, PPP sempat menyatakan dukungan untuk bergabung dengan PDI-P dengan melakukan kerja sama politik, namun upaya tersebut dijegalkan oleh SBY.

Pada akhirnya, PPP mendukung pasangan SBY-Boediono pada 10 Mei 2009.

Suryadharma Ali kemudian dilantik sebagai Menteri Agama di Kabinet Indonesia Bersatu II sebagai perwakilan dari PPP.

Pada pemilihan legislatif tahun 2014, PPP menargetkan mendapatkan 12 % suara nasional atau 13-15 % suara di DPR.

Namun, PPP hanya bisa meraih 6.53 % suara nasional dan sebanyak 39 kursi di DPR.

Konflik internal dalam menentukan calon presiden kembali terjadi menjelang pemilihan presiden 2014.

Saat itu, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali hadir dalam kampanye Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 23 Maret 2014.

Suryadharma Ali memberikan orasi dan dukungan kepada Prabowo Subianto.

Kehadiran Suryadharma Ali dalam kampanye Partai Gerindra dituding sebagai penyebab gagalnya PPP meraih target 12 persen suara dalam pemilu legislatif pada 9 April 2014.

Pada 13 April 2014, sebanyak 26 dari 34 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP meminta Dewan Pimpinan Pusat PPP melaksanakan rapat pleno guna mendengarkan pertanggungjawaban Suryadharma Ali.

Tidak lama setelah permintaan pertanggungjawaban disuarakan, Suryadharma Ali pada 16 April 2014 menandatangani surat pemecatan untuk Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan lima unsur pimpinan DPW PPP.

Suharso dipecat dengan alasan mengurus proses percalonan istrinya sebagai caleg, sementara lima unsur pimpinan DPP PPP tersebut dipecat karena mengurus pemilihan capres pada saat kader sedang memperjuangkan suara di pemilu legislatif.

Setelah pemecatan, Suryadharma mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo di kantor DPP PPP dan ditanggapi oleh Wakil Ketua Umum DPP PPP Emron Pangkapi yang menegaskan bahwa koalisi partainya dengan Gerindra adalah ilegal.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, PPP menggelar rapat pimpinan nasional pada 19-20 April 2014 yang melahirkan keputusan pemberhentian sementara Suryadharma Ali sebagai ketua umum.[18] Namun pada akhirnya, konflik internal berakhir dengan damai setelah Suryadharma meminta maaf dan PPP secara resmi mendukung Prabowo Subianto pada 12 Mei 2014.

PPP sempat mengusulkan Suryadharma Ali sebagai calon wakil presiden Prabowo[26] namun Prabowo memilih Hatta Rajasa sebagai wakilnya.

Pada Pemilu 2019, PPP kembali mengalami penurunan suara. PPP hanya dapat meraih 4,5 persen suara atau sebanyak 19 kursi di DPR.[50] Secara persentase, raihan suara ini adalah yang terendah sepanjang sejarah keikutsertaan PPP dalam pemilu.

Arah dukungan PPP terhadap calon presiden pilihan juga terpecah.

Ketua Umum hasil Muktamar Jakarta Humphrey Djemat mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden sementara Ketua Umum versi Muktamar Surabaya Muhammad Romahurmuziy mendukung Joko Widodo.

Secara resmi, PPP mendukung percalonan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin untuk Pilpres 2019.

Menjelang Pemilu 2019, Ketua PPP versi Muktamar Surabaya Muhammad Romahurmuziy terjerat kasus dugaan suap jabatan di Kementerian Agama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebagai langkah untuk menyelamatkan partai, Romy resmi diberhentikan sebagai ketua umum PPP versi Muktamar Surabaya dan digantikan oleh Suharso Monoarfa.

Penetapan tersangka terhadap Romy menjadi peringatan keras proses alih generasi politik di Indonesia.

Suharso Monoarfa mengatakan pihaknya membuka pintu untuk bersatu atau islah dengan kubu PPP pimpinan Humphrey Djemat. Suharso pun mengaku telah bertemu Humphrey untuk membahas persoalan islah.

Pada Desember 2019, DPP PPP menegaskan tidak ada muktamar islah karena kepengurusan PPP sudah resmi diakui negara.[58] Ketua Panitia Pengarah Mukernas V PPP Achmad Baidowi menyatakan jika kubu Humphrey Djemat ingin bergabung, mereka harus mengikuti hasil Mukernas V PPP dan ketentuan AD/RT yang ada.

Dualisme partai PPP pun berakhir dengan penyelenggaraan Muktamar IX PPP 2020 dengan Suharso Monoarfa ditetapkan sebagai Ketua Umum PPP dan Djan Faridz kembali bergabung dengan kepengurusan PPP sebagai anggota Majelis Kehormatan Partai.(*)

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved