Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Citizen Reporter

Perjuangan Aziza Menjadi PKD, Tak Malu Meski Dipanggil Kurcaci

Dalam beberapa hari ke depan, kotak suara itu akan dihitung oleh Panitia Penyelenggara Kecamatan (PPK).

Editor: Sudirman
Ist
Pengawas Desa dan Kelurahan (PKD) Desa Rompegading, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Azizah 

Citizen Reporter Zulfikarnain

Humas Bawaslu Maros

Butir air muka Azizah, nampak bercucur. Terik panas, menyapu hingga ke dalam gudang penyimpanan kotak suara pemilu untuk Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.

Tapi Aziza, senantiasa duduk di tempatnya berjaga.

Ia adalah Pengawas Desa dan Kelurahan (PKD) Desa Rompegading, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.

Saat ini, ia ditugasi mengawasi kotak suara.

Dalam beberapa hari ke depan, kotak suara itu akan dihitung oleh Panitia Penyelenggara Kecamatan (PPK).

Untuk memastikan suara rakyat yang telah disalurkan kemarin, disatukan, direkap lalu diumumkan.

Ujungnya, dipastikan siapa yang menduduki kursi wakil rakyat.

Perempuan mungil itu, tak bergeming. Meski hanya ditemani air mineral kemasan, sesekali diteguk untuk pelepas dahaganya.

"Lagi menjaga kotak suara, supaya aman dari orang yang mencurigakan," kata Cica, sapaan akrab Azizah saat ditemui di Kantor Kecamatan Cenrana, Maros, Senin (19/2/2024).

Pengawas Desa dan Kelurahan (PKD) Desa Rompegading, Kecamatan Cenrana, Azizah 6
Pengawas Desa dan Kelurahan (PKD) Desa Rompegading, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Azizah

Menjadi pengawas pemilu, membawa tantangan bagi Cica.

Ia tak hanya melawan kecurangan, tapi sedang bertarung pada cibiran bahwa tak berkompeten menjadi pengawas.

Dalam budaya yang cenderung patriarki, ia rela dimaki.

Cemoohan warga kampung sudah biasa baginya, lantaran fisiknya lain dari perempuan umumnya.

Ia mungil dari perempuan lainnya. Bahkan ia pernah diteriaki kurcaci

"Pernah ketemu warga Dusun, teriak-teriak kurcaci," ujar Cica dengan mata nanar.

Menjadi pengawas pemilu, terkadang membawa pilu.

Panggilan itu tak mematahkan Azizah, kala itu ia sedang mengawasi proses pencoklitan tahun lalu.

Tugasnya berat, karena harus keliling kampung memastikan warga yang berhak memilih.

"Saya tidak respon bagaimana karena merasa dianggap bercanda. waktu temani pantarlih coklit, sementara naik tangga baru ketemu bapak-bapak, hey.. kurcaci. dibalas dengan senyum tanpa suara," tutur Alumnus Jurusan Akuntansi Unismuh itu.

Bukannya, malu, Azizah malah meladeni pembukaan obrolan kurang ajar itu.

Momen itu ia manfaatkan memberi sosialisasi pemilihan umum pada warga tersebut.

Melawan Stigma

Awal menjadi pengawas, Aziza dihadapkan pada stigma negatif padanya.

Perempuan, mungil, anak muda, tiga hal itu adalah momok yang dihadapinya.

Sedari kecil, Azizah tak menganggap dirinya beda dari yang lain, mentalnya bagai ditempa sekeras baja.

Hal itu membuatnya berani tampil di ruang publik. Bahkan ia sampai ikut perguruan tapak suci, satu perguruan silat berbasis metafisis.

Mental dan silat itu, membuat Azizah melampaui diri yang semestinya, ia tak menjadi perempuan cengeng seperti Cinderella kala disiksa ibu tiri.

Ia memilih menjadi Cut Nyak Dien, yaitu perempuan tegar, melawan, dan berani mengambil posisi pada ranah publik.

"Tidak stres jaka, tidak pernah. waktu sekolah orang-orang takut saya. karena saya anggota tapak suci. Karena mauka lindungi diriku dari orang jahat," ujarnya.

Ia bahkan sempat diragukan oleh keluarga sendiri.

Dianggap tidak punya pengalaman menjadi pengawas pemilu.

Namun setahun bertarung dengan tugas berat, rela pulang malam, Azizah menjadi pemenang.

"Ketika kakak saya melihat saya mengawas di TPS, saat pencoblosan, kaka memberikan jempol," tutur Alumnus Unismuh itu.

Senangnya bukan main, tembok penghala yang bagai hantu pun ia robohkan.

Cibiran dan cemooh, telah ia lewati sepenuh hati, hingga menjadi pengawas berintegritas adalah harga mati, lalu bangga menjadi pengawas.

Cica telah berdamai dengan keadaan, ia percaya diri dengan penampilannya. Ruang publik yang menakutkan bagi perempuan desa umumnya, tak menjadi batas.

Pengawas Desa dan Kelurahan (PKD) Desa Rompegading, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Azizah
Pengawas Desa dan Kelurahan (PKD) Desa Rompegading, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Azizah (Ist)

"Tubuh besar tidak menjamin orang sukses, tubuh mungil saja bisa menyelesaikan pengawasan selama 1 tahun," ujarnya sembari terkekeh.

Menjadi pengawas cocok baginya, apalagi Cica mengaku penyuka tantangan.

Sebelumnya, ia telah malang melintang berkarir di desa. Dari menjadi guru SD hingga menjadi admin gudang pabrik.

Tak ada yang keras, semua lugas untuk diterpa. Pengawas baginya adalah kebanggaan karena berkontribusi untuk demokrasi di desa.

Menjadi Pemimpin

Di desa yang sunyi, Cica diuji. Ia memimpin 6 Pengawas TPS untuk desa Rompegading.

Kebanyakan anak muda, perempuan 2 dan laki-laki 4 orang. Cica ditugasi mengkordinir para PTPS mengawasi pelaksanaan pemungutan suara.

Berbeda dengan PKD, Para PTPS baru direkrut sebulan sebelum pencoblosan.

Tentu membutuhkan energi mengajari dan melatih PTPS agar bekerja sesuai tugas, kewajiban dan wewenang.

Cica mengungkapkan kerumitan melatih mereka, namun ia mempunyai kunci keberhasilan dalam memimpin para PTPS.

"Mereka percaya sama saya, karena mereka mau mendengar saran dan arahan dari saya. Meskipun sekali-kali PTPS memberikan pelajaran. Tapi saya bisa memimpin PTPS dengan baik," tepisnya.

"Karena tidak boleh ki insecure, cica dari kecil sampe sekarang pede dengan penampilan. tidak pernah merasa introvert. Karena saya sehat jasmani dan rohani," ujar Cica

Kepercayaan dan kerja keras menjadi senjata Cica menjalankan tugas pengawas.

Meski anggapan miring kerap menerpanya, ia tak bergeming.

Kondisi fisik bukanlah monster yang mesti ditakuti, ia sadar berbeda, tapi tidak mesti menjadi penyebab menjadi rendah diri. Meski dibully, ia tak lari.

"Nda jadi masalah, itu hak mereka seperti itu, karena faktanya (tubuh saya) memang seperti itu," Cetusnya.

"Saya beda dari yang lain, saya punya kekuatan ekstra, saya waktu pengawasan TPS 24 jam puasa, 6 TPS di desa Rompegading saya kelilingi. Saya sampai pagi stay di TPS, tidak ada penjual makanan di desa, apalagi pelosok, tapi tetap semangat"

"Demi tugas, kita harus berkontribusi untuk demi negara demi desa Rompegading, majulah demokrasi !!!," tutup Aziza.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved