Opini
Gerakan Kultural Moderasi Beragama dan Tantangan Kebebebasan Beragama
Hal itu bahkan menjadi bagian dari awal sebuah kampanye panjang tentang moderasi beragama di Indonesia.
Oleh: Syamsul Arif Galib
Mahasiswa Ph.D di Macquarie University, Australia
MAHASISWA di Macquarie School of Social Sciences, Macquarie University Sejak tahun 2016, era di mana Kementerian Agama di bawah komando Dr. (H.C.) K.H.
Lukman Hakim Saifuddin, wacana dan gagasan moderasi beragama mulai digulirkan.
Hal itu bahkan menjadi bagian dari awal sebuah kampanye panjang tentang moderasi beragama di Indonesia.
Masih di bawah Lukman Hakim, tahun 2019 kemudian ditetapkan sebagai Tahun Moderasi Beragama.
Di tahun yang sama pula Kementerian Agama menerbitkan buku Moderasi Beragama.
Sebuah buku bacaan “wajib” untuk memahami apa sebenarnya konsep moderasi beragama yang dimaksudkan oleh Kementerian Agama.
Kampanye moderasi beragama terus berlanjut meski kepemimpinan di Kementerian Agama berubah.
Saat Menteri Agama berganti, baik oleh Jenderal TNI (Purn.) H. Fachrul Razi, S.I.P., S.H., M.H. hingga K.H. Yaqut Cholil Qoumas, kampanye Moderasi beragama tetap berjalan.
Moderasi Beragama bahkan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 -2024.
Tidak heran jika kemudian kampanye moderasi beragama ini menjadi begitu massif dilaksanakan terutama di lembaga-lembaga di bawah naungan Kementerian Agama.
Meski demikian, penerimaan moderasi beragama tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan.
Meski secara nilai dan gagasan moderasi beragama diyakini dibutuhkan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, namun ada resistensi dari kelompok yang melihat kampanye moderasi beragama sebagai produk Barat sekaligus sebuah gerakan yang dibangun untuk melemahkan agama tertentu.
Hastag #TolakModerasiBeragama yang pernah viral di media sosial Twitter (kini disebut X) adalah salah satu bukti bagaimana resistensi atas gerakan ini.
Moderasi beragama dianggap sebagai produk Barat yang ingin melemahkan ummat Islam.
Moderasi beragama dilihat sebagai kelanjutan dari gerakan “liberalisme” dan “pluralisme.”
Selain itu, Moderasi Beragama juga diyakini sebagai sebuah upaya sistematis untuk mengubah agama atau upaya agar masyarakat Indonesia “Berislam sesuai Keinginan Barat.”
Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan konsepsi moderasi beragama yang dibangun Kementerian Agama itu sendiri mengingat bahwa moderasi beragama bukanlah program yang hanya menfokuskan pada satu agama tertentu.
Catatan Kritis atas Moderasi Beragama
Pada sisi lain, catatan kritis atas program moderasi beragama dilancarkan oleh para akademisi.
Dalam buku Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama; Suatu Tinjauan Kritis (2022) disebutkan bahwa meski dipahami bahwa kemunculan moderasi beragama dikarenakan adanya dua konteks besar terdekat yakni menguatnya aksi-aksi terorisme dan politisasi agama.
Namun dikhawatirkan bahwa moderasi beragama bisa saja bentuk lain dari politik agama yang dilakukan oleh negara untuk mengatur agama (governing religion) atau bahkan “menjinakkan” agama.
Kekhawatirannya adalah, jika kemudian moderasi beragama justru menjadikan negara ingin mengambil posisi tafsir agama dan menjadikan moderasi beragama menjadi model beragama yang resmi yang mendapat restu dari Pemerintah.
Turut campur negara dalam mengambil tafsir agama menjadikan negara kehilangan netralitas.
Dan jika hal ini terjadi, maka seringkali yang menjadi korban adalah kelompok minoritas yang tafsir keagamaannya terkadang dianggap “salah” atau “menyimpang.”
Padahal isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) menjadi sangat penting dan hal tersebut jelas tertuang dalam Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Dalam bentuk yang lebih jauh, dikhawatirkan bahwa gerakan moderasi beragama justru pada akhirnya memberikan ancaman pada kebebasan beragama.
Dengan dalih moderasi beragama, maka kelompok yang dianggap berbeda kemudian justru dipersekusi dan hal itu justru bertentangan dengan indikator moderasi beragama yakni toleransi.
Apalagi jika moderasi beragama justru menjadi ideologi baru yang tertutup dan tidak memberikan ruang bagi yang berbeda.
Jika demikian, moderasi beragama akan tergelincir sebagai bentuk baru dari Repressive Pluralism.
Pluralisme yang represif sendiri adalah istilah yang digunakan Prof. Greg Fealy dalam menjelaskan rekayasa sosial berskala besar yang dilakukan negara di masa kepemimpinan Presiden Jokowi dalam menekan kelompok Islamis (Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State; 2020).
Maka tidak heran jika moderasi beragama diharapkan tidak menjadi sebuah konsep dan ideologi tertutup.
Sebagai sesuatu yang diyakini memiliki niat yang baik dan sejalan dengan warna keberagamaan di Indonesia, moderasi beragama hendaknya menjadi sebuah diskurus yang yang perlu untuk diperbincangkan agar supaya moderasi beragama berada pada jalurnya untuk membangun semangat keberagaman yang terbuka dan menghargai perbedaan.
Sebagaimana penjelasannya bahwa, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama (Moderasi Beragama,2019)
Gerakan Kultural Moderasi Beragama
Dalam buku Moderasi Beragama (2019) yang diterbitkan Kementerian Agama, disebutkan bahwa penguatan moderasi beragama ini dilakukan dengan tiga strategi utama, yakni: pertama, sosialisasi gagasan, pengetahuan, dan pemahaman tentang
moderasi beragama kepada seluruh lapisan masyarakat.
Kedua pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat; dan ketiga, integrasi
rumusan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Ketiga hal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah.
Hal tersebut terlihat jelas dari banyaknya kegiatan-kegaiata yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama dan juga
berbagai bentuk lembaga yang dibentuk sebagai upaya menjadikan moderasi beragama semakin banyak dipahami oleh masyarakat.
Sebagai sesuatu yang baik, harapannya adalah moderasi beragama sebaiknya dibangun menjadi sebuah gerakan kultural.
Sebuah gerakan kesadaran bahwa moderasi beragama ini memang dibutuhkan dalam konteks keberagamaan di Indonesia.
Tentu berbeda jika moderasi beragama dilihat dan disebarkan sebagai sebuah gerakan dengan berbasis proyek.
Mereka yang terlibat dalam gerakan ini tentu saja hanya mereka yang mendapatkan jatah proyek tersebut.
Jika gagasan moderasi beragama terpaku pada gerakan berbasis proyek, tidak dilihat sebagai sebuah gerakan kultural, maka pembicaraan tentang moderasi beragama dikhawatirkan hanya berakhir pada ruang-ruang seminar ataupun training-training.
Lantas, bagaimana gagasan ini bisa sampai ke akar rumput.
Moderasi beragama diharapkan dapat menjadi gerakan kesadaran tentang pentingnya ruag beragama dibangun dengan semangat saling menghargai (toleran) dan tidak menggunakan kekerasan atas mereka yang berbeda iman.
Hal ini penting karena Indonesia adalah negara dengan takdir keberagaman agama.
Meski diinisiasi negara, moderasi beragama diharapkan menjadi sebuah gerakan kultural yang dipikul dan
diusahakan bersama, dari lapis atas hingga lapis bawah tentang pentingnya menghargai iman yang berbeda agama tanpa harus menekan kebebasan beragama. Wallahu A’lam bi Asshwwab.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.