Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Legalitas Quick Count

Ada juga meragukan pengumuman dari hasil quick count yang telah memenangkan Prabowo – Gibran (suara di atas 50 persen), tidak akurat.

Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
Pakar Hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Amir Ilyas   

Oleh: Amir Ilyas

Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

Pengumuman hasil quick count atau yang lebih dikenal dengan istilah “hitung cepat” pada penyelenggaraan pemilu 14 Februari kemarin, lagi-lagi dipersoalkan oleh banyak pihak, terutama pendukung yang kalah.

Ada yang “menuduh” lembaga penghitungan cepat memihak pasangan calon tertentu.

Ada juga meragukan pengumuman dari hasil quick count yang telah memenangkan Prabowo – Gibran (suara di atas 50 persen), tidak akurat.

Sembari tetap menaruh harap pada Penetapan Rekapitulasi suara Pilpres oleh KPU RI, yang sedianya akan diumumkan secara nasional pada 20 Maret 2023 nanti.

Quick Count yang menggunakan tekhnik probability sampling dengan metode stratified random sampling, sudah bukan hal baru di jagat kepemiluan Indonesia.

Pada pemilu 1999, sebuah lembaga bernama LP3ES kala itu, sudah memulai penghitungan cepat suara partai politik peserta pemilu yang masih dalam sistem proporsional tertutup.

Kemudian berlanjut pada pemilu-pemilu selanjutnya, 2004, 2009, 2014, 2019, dimana Pilpres yang digelar secara langsung sebagaimana amanat UUD NRI 1945 hasil amandemen empat kali.

Lembaga penghitungan cepat dari berbagai elemen (lembaga survey, jejak pendapat, media massa, lembaga penelitian) bermunculan bak cendawan di musim hujan.

Mungkin saja, ingatan publik belum lekas berlalu, pada Pilpres 2014, ada sebuah lembaga hitung cepat menjadi bulan-bulanan, gegara hasil rilisnya yang memenangkan Prabowo – Hatta Radjasa kala itu, berbeda dari lembaga-lembaga lainnya.

Sekarang, fenomena perbedaan rilis kemenangan Paslon itu, dari beberapa lembaga hitung cepat, tidak diketemukan lagi.

Meskipun dengan angka presentase yang sedikit berbeda, semuanya sudah mendeklare, Prabowo – Gibran sebagai pemenang suara terbanyak diangka 50 Persen plus satu.

Dengan konsekuensi Pilpres 2024 kemungkinan besarnya, hanya akan digelar satu putaran.

Legalitas

Penghitungan cepat merupakan salah satu fungsi pemilu dalam melibatkan partisipasi masyarakat.

Oleh karena itu bentuk “partisipasi” ini, diakui existing dalam Pasal 448 UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Dahulunya, bahkan dengan melalui Putusan MK Nomor 9/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 89/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 pernah “memangkas” ketentuan dalam UU Pileg yang hanya membolehkan lembaga hitung cepat dapat melakukan Pengumuman paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

Dua kali “pelarangan” ini muncul, dengan melalui Pasal 245 ayat 3 UU No. 10/2008 (Pemilu 2009), Pasal 247 ayat 8 UU No. 8/2012 (Pemilu 2014), oleh MK dua kali pula konsisten membatalkannya.

Pembentuk UU (dalam hal ini UU No. 7/2017), yaitu pada pemilu 2019, tetap memberikan batasan-batasan pengumuman hitung cepat di hari pemungutan suara (2 jam setelah selesai pemungutan suara di WIB).

Di luar perkiraan, dari beberapa lembaga survey yang mengajukan uji materil atas ketentuan pembatasan waktu rilis hitung cepat, kala itu MK malah tidak sejalan dengan permohonan pemohon, bahkan MK mengubah pendirian dari tiga putusan sebelumnya.

Dalam pertimbangannya MK menyatakan: “Pengumuman hasil penghitungan cepat demikian, yang karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis “sekadar” ingin menjadi bagian dari pemenang.

Apalagi, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, pertimbangan perihal budaya hukum dan budaya politik masyarakat turut pula menjadi faktor determinan terhadap tercapai atau tidaknya maksud mewujudkan kemurnian suara pemilih yang hendak dicapai oleh asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 (Putusan MK Nomor 24/PUU-XVII/2019, Pragraf 3.16.3, Halaman 61)”

Dalam regulasi kepemiluan, bukan hanya tentang pembatasan waktu hitung cepat yang diatur sedemikian ketat, berikut kriminalisasi atasnya jika larangan tersebut tidak diindahkan oleh lembaga hitung cepat (Pasal 540 ayat 2 UU Pemilu).

Dengan berdasarkan Pasal 16, Pasal 17, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 PKPU No. 9/2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Pada pokonya mengatur kalau lembaga hitung cepat, melakukan perubahan data lapangan, tidak memenuhi ketentuan scientific hitungan cepat.

Masyarakat dapat saja menyampaikan pengaduan adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan Penghitungan Cepat tersebut, kepada Bawaslu.

Kemudian Bawaslu memberikan rekomendasi adanya dugaan pelanggaran etika tersebut ke KPU, agar diteruskan kepada asosiasi lembaga Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat untuk mendapatkan penilaian terhadap adanya dugaan pelanggaran etika.

Dan kalau berdasarkan hasil penilaian asosiasi, terbukti adanya pelanggaran etika, KPU menindaklanjutinya dengan menjatuhkan sanksi.

Berupa, peringatan atau pencabutan sertifikat terdaftar sebagai lembaga Penghitungan Cepat dalam penyelenggaraan Pemilu.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved