Opini
Stop 'Waspadai' Pemilu Curang
Kata Andika Perkasa, kalau (ada yang) berpikir di Pilpres kali ini tidak mungkin terjadi kecurangan (di Pemilu Pilpres 2024) itu namanya pura-pura.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
Pengakuan mantan Panglima TNI RI Jenderal Andika Perkasa di Speak Up Abraham Samad, sungguh sangat mengejutkan.
Ia mengatakan, ”Tahu secara langsung bahwa di dua Pilpres terakhir (yang memenangkan Jokowi), ada kecurangan Pemilu.
Dengan kata lain, potensi penggunaan TNI dan Polri serta ASN itu ada di dua Pilpres terakhir (sebagaimana yang ia alami langsung, yang bersifat adanya tekanan dari atas).”
Jadi, kata Andika Perkasa, kalau (ada yang) berpikir di Pilpres kali ini tidak mungkin terjadi kecurangan (di Pemilu Pilpres 2024) itu namanya pura-pura.
Pengakuan jujur seorang Mantan Panglima tertinggi di TNI itu, penting untuk dicatat oleh semua pihak agar Pemilu/Pilpres di 2024 yang tersisa tinggal berapa hari ini, bisa berlangsung secara bermartabat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan seluruh kontestan Pemilu 2024 agar tidak mengedepankan pragmatisme politik dan hanya mementingkan kemenangan.
Proses pemilu yang serba pragmatis dan oportunistis bisa mengakibatkan pendangkalan politik.
Seluruh pemangku kepentingan pemilu diharapkan menciptakan pemilu yang bermartabat sehingga bisa melahirkan sosok negarawan.
”Kami tidak ingin pendangkalan politik dan disorientasi kenegaraan terjadi karena proses pemilu yang serba pragmatis, yang serba oportunistis, yang hanya mementingkan kemenangan,” ujar Haedar (kompas, 29/12/2023).
Salah satu bentuk Proses pemilu yang serba pragmatis dan oportunistis bisa mengakibatkan pendangkalan politik, adalah adanya dugaan mobilisasi aparatur pemerintahan desa buat memberikan dukungan politik kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden tertentu dalam Pilpres 2024.
Manouver seperti itu, dinilai bisa membuat proses pergantian kepemimpinan melalui Pemilu, tidak berjalan adil.
"Mobilisasi kepala desa ini bisa membuat unfairness kontestasi karena dinilai menguntungkan dan merugikan peserta pemilu yang lain," kata Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
Neni mengimbau supaya para aparatur pemerintahan desa tidak terseret dalam persaingan politik dengan alasan apapun supaya tidak merusak praktik demokrasi di tengah masyarakat.
Jika para aparatur pemerintahan desa tidak mengindahkan UU Pemilu dan UU Desa, maka menurut Neni hal itu menjadi sinyal akan terjadinya potensi dugaan pelanggaran dalam Pemilu dan Pilpres 2024 (Kompas.com, 20/12/2023).
Dalam pada itu, Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 6/2014 tentang Desa sudah mengatur perihal sikap netral aparatur pemerintahan desa dalam Pilkada, Pemilu, dan Pilpres.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa dilarang menjadi pelaksana/tim kampanye paslon capres-cawapres.
Pelanggaran atas hal ini berakibat pidana maksimum 1 tahun penjara dan denda.
Bahkan, Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.
Pertanyaannya, apakah aturan tersebut dipatuhi, dan jika dilanggar, apakah akan ditindaki, dan siapakah yang seharusnya menindakinya?
Persoalan siapa yang akan menindakinya dan apakah mereka yang berwenang itu punya kemauan politik dan berani menindakinya? Masih menjadi wilayah abu- abu atau diabu- abukan.
Terkait soal netralitas ASN di Pemilu, Ombudsman RI melihat berbagai potensi pelanggaran netralitas dari aparat penyelenggara pelayanan publik menjelang Pemilu 2024 semakin serius.
Terlebih, Komisi Aparatur Sipil Negara yang bertugas mengawal netralitas itu akan dihapuskan.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, melihat, semakin dekat pergelaran Pemilu 2024, semakin vulgar pula berbagai bentuk pelanggaran terhadap netralitas ASN semisal penggunaan fasilitas publik yang digunakan untuk kegiatan politik serta ASN yang semakin tidak fokus melaksanakan tugasnya karena mengurusi hal terkait politik (Kompas.id, 27/11/2023).
Oleh karena itu, ASN di institusi Pemerintahan harus betul-betul menjunjung tinggi prinsip netralitas dan siap mengamalkannya secara konsisten dengan segala konsekuensinya.
Dampak Curang
Fenomena penyelenggaraan Pemilu yang mengundang kecurigaan, patut untuk diwaspadai.
Misalnya, kenapa pengiriman surat suara ke Taipei mendahului Jadwal yang sesungguhnya, sehingga Direktur Migran Care Wahyu Susilo menilai sebagai tindakan yang tidak profesional dari penyelenggara Pemilu di luar negeri (Kompas.id,27/11/2023).
Eka Anugrah perempuan pengusaha Sumedang yang menyumbang 100 mobil ke Paslon AMIN mengaku cemas karena mendapat telepon dari orang tak dikenal, juga kedatangan tamu tak dikenal, setelah menyumbang mobil, sehingga merasa terganggu (Tribunjabar.id, 27/12/2023).
Demikian juga ramai diberitakan sejumlah media, tentang pencopotan/ penurunan poster/baliho Ganjar - Mahfud di Bali oleh Satpol PP, seiring dengan kedatangan Presiden Jokowi dengan alasan mensterilkan lokasi.
Fenomena itu sudah menunjukkan adanya indikasi kecurangan dalam Pemilu.
Pemilu kali ini menurut penuturan T Mulia Lubis, pengacara senior dan pendiri lembaga pemantau Pemilu University Network for Free Election (UNFREL) pada Pemilu pertama 1999; Pemilu setelah Reformasi, terus mengalami kemunduran, sehingga patut diwaspadai.
Menurut laporan Majalah investigasi Tempo, saat ini tengah terjadi Otoritarianisme elektoral yang disokong oleh populisme politik, dimana masyarakat dibuai- untuk tidak mengatakan dimanipulasi oleh pencitraan dan kebijakan sesaat.
Seperti bagi-bagi sembako, (“termasuk uang”) di tengah kesulitan ekonomi dan menyempitnya ruang masyarakat sipil, publik dipaksa bersikap prakmatis dan “menerima” pemimpin yang populis.
Partai politik terjebak dalam pragmatisme, mereka mengecilkan dirinya semata sebagai tukang pungut suara.
Koalisi antar partai dibangun hanya untuk menyelamatkan diri sendiri tanpa kesamaan gagasan apalagi ideologi (Majalah Tempo,31/12/2023).
Pemilu curang dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, seperti merusak integritas demokrasi, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik, dan menciptakan ketidakstabilan sosial serta politik.
Selain itu, pemilu yang tidak adil juga dapat menghambat partisipasi politik yang sehat dan menghancurkan fondasi dasar sebuah negara demokratis.
Sementara itu, Pemilu yang sah dan adil merupakan dasar legitimasi pemimpin terpilih.
Jika terdapat bukti kecurangan dalam pemilu, penting untuk melibatkan lembaga hukum dan penyelidikan yang independen untuk menentukan keabsahan hasil serta memastikan keadilan demokratis.
Betapa tidak, karena pemimpin yang terpilih melalui Pemilu curang, cenderung kehilangan legitimasi karena proses demokratis yang seharusnya adil dan transparan telah terganggu.
Legitimasi pemimpin sangat terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap integritas proses Pemilu.
Jika pemimpin yang terpilih dipersoalkan legitimasinya, maka citranya sebagai pemimpin yang berterima di masyarakat akan menjadi persoalan serius dalam pengelolaan pemerintahan nantinya.
Karena itu, waspadailah keberlangsungan Pemilu, sehingga jauh dan terhindar dari praktik kecurangan, karena itu termasuk kejahatan dalam berdemokrasi yang akhirnya melahirkan pemimpin dari hasil praktik kejahatan demokrasi.
Jika itu terjadi, sungguh itu sebuah aib demokrasi bagi negeri ini, dalam melahirkan pemimpinnya.
Musibah itu, semoga tidak terjadi. Wallahu a’lam Bishshawabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.