Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ashabul Kahfi Terharu Bertemu Mahasiswanya Berusia 83 Tahun di Pedalaman Gunung Bawakaraeng

Bertepatan momen Sumpah Pemuda, Ketua Komisi VIII Ashabul Kahfi bertemu mahasiswanya H Tammu Bausat

Editor: Ari Maryadi
Tribun Timur
Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi Djamal bertemu mahasiswanya H Tammu Bausat di Cikoro, dusun tua kaki Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng, 1.900 Mdpl, akhir pekan lalu. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Seyogyanya guru (selalu) lebih tua dari muridnya.

Namun tidak dengan momen yang terungkap di Cikoro, dusun tua kaki Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng, 1.900 Mdpl, akhir pekan lalu.

Bertepatan momen Sumpah Pemuda, Sabtu (28/10/2023) lalu, si murid sudah berusia 83 tahun sedang si guru masih 61 tahun.

“Haji Tammu ini, mahasiswa saya dulu sekitar tahun 1988-1989, sudah 35 tahun baru lagi ketemu,” kata Ashabul Kahfi Djamal.

Kahfi adalah Ketua Komisi VIII DPR-RI.

Dia memperkenalkan Haji Tammu yang kebetulan duduk berdampingan dengannya di sebagai panelis workshop kependidikan.

Dia hadir sebagai pembicara utama di acara perkemahan dan outbond Workshop Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah dan Pesantren, Ngopi (Ngobrol Pendidikan Islam), di kompleks Pondok Pesantren Markaz Tarbiyah Amal Jamaatul Permata Al Amin, Dusun Lembang Bu'ne, Cikoro, Desa Parang Bintolo, Kecamatan Tompobulu, sekitar 71 km tenggara Sungguminasa, Gowa.

Sedangkan si murid, H Tammu Bausat, adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Tompobulu (YAPIT).

Acara workshop, outbond dan camping day itu adalah inisiatif bersama YAPIT Malakaji bersama kantor Kementerian Agama (Kemenag) Gowa.

Momen pertemuan guru dan murid itu, pun tak disangka oleh Kahfi dan Haji Tammu.

Kahfi bercerita, saat dia baru diwisuda di IAIN Alauddin Ujungpandang, (1986), Kahfi sudah mengabdi jadi dosen muda di IAIN sekaligus Universitas Muhammadiyah atau Unismuh Makassar.

Kahfi kala itu masih berusia 26 tahun.

“Masih pengantin baru, dan saya dapat tugas jadi dosen pedalaman kelas jauh Unismuh di Malakaji. Dua atau tiga kali sebulan saya ke sini (Malakaji) mengajar, murid saya salah satunya ya Haji Tammu ini.”

Sedangkan Tammu Bausat sudah bergelar haji, guru madrasah di Yapit Malakaji, beranak 3, dan berumur 46 tahun.

‘Saya ikut kuliah kelas jauh di Unismuh. Untuk ujian persamaan saya diajar anaknya Pak Kiai Jamal ini di Unismuh dan di IAIN. Rektornya waktu masih Ibu Haji Rasdianah,” kata Haji Tammu.

Kiai Jamal yang dimaksud Haji Tammu adalah almarhum KH Djamaluddin Amien (18 Januari 1930 hingga 16 November 2014), Ketua PW Muhammadiyah Sulsel 4 periode, Rektor Unismuh 3 periode sekaligus ketua DPW PAN Sulsel dua periode.

Haji Tammu dan Kahfi pun berpelukan, bercerita sekelumit kenangan empat dekade silam.

Kahfi berkisah, dia masih naik mobil angkutan umum dari Makassar ke Malakaji.

Dia dan beberapa dosen muda IAIN dan Unismuh bergiliran tiap pekan ke ibu kota kecamatan Tompobulu, daerah berhawa dingin berjarak 87 km timur Ujungpadang.

Di momen workshop itu, Kahfi dan Haji Tammu bertukar cerita.

Kahfi menanyakan kabar nama-nama mahasiswa ‘kelas jauhnya” di Malakaji.

“Saya mami ini yang masih diberi umur panjang. Guru yang hadir di sini murid kami,“ ujar Haji Tammu.

Namun, menurutnya sebagian besar guru madrasah, pesantren dan sekolah umum di kecamatan pegunungan Gowa, Biringbulu, Tompobulu, dan Malakaji dan Bungaya, adalah didikan guru yang jadi mahasiswa kelas jauh Unismuh-IAIN Alauddin di dekade 1980-hingga 2000-an.

Haji Tammu kini menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Yayasan Pendidikan Islam Tompobulu (YAPIT), sebuah lembaga pendidikan nirlaba yang berdiri 60 tahun silam.
Selain Haji Tammu, sebagai generasi kedua perintis YAPIT juga ada mendiang H Muchtar Waliati, pejabat kemenag Sulsel.

“Ini sekarang anaknya, Dg Gappa (Murhadi Muchtar) jadi sekretaris di YAPIT,” ujar Haji Tammu.

Kahfi pun mengaku meminta agar dirinya bisa dipertemukan dengan para mahasiswa dan para guru di YAPIT, di kesempatan berbeda.

Bahkan, Haji Tammu berjanji akan mempertemukan Kahfi dengan kerabat dan murid-muridnya di Malakaji.

Dia mengaku, Malakaji bukanlah daerah baru baginya.

Tiga dekade lalu, dia nginap dan jadi migran kota dengan berpindah-pindah rumah saat datang mengajar.

Kondisi infrastruktur jalan yang masih berlumpur, membuatnya kerap jalan kaki, naik kuda bersama guru-guru untuk mengajar mahasiswa kelas jauh di Malakaji. (*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved