Opini
Kota, Suhu Panas dan Ketimpangan Sosial
DALAM beberapa dekade terakhir, ada ratusan kota di dunia laksana terpanggang oleh sengatan panas (beat stroke).
Karena itu, sudah saatnya kita mengoreksi langkah dalam menumbuhkan kota. Kota tak lagi bisa dibangun dengan nalar serampangan ala paradigma antroposentrisme yang melihat pembangunan berpusat pada manusia.
Membangun kota perlu disulut dari semangat yang holistik dan futuristik. Perlu mengalokasikan sumber daya untuk menyiapkan warga kota sebagaimana dipikirkan Pritjof Capra, warga yang melek literasi lingkungan (eco literasi).
Dengan begitu, segenap warga kota secara kolektif akan melibatkan diri dalam aksi-aksi pemulihan lingkungan karena kesadaran utuh memandang bumi sebagai natural capital.
Langkah ini hanya bisa terwujud ketika di level kebijakan (policy), para pengambil kebijakan menganut satu pendekatan holistik dan transdisipliner yang diperkenalkan oleh Jamie D Bastedo (1984) bahwa sumber daya harus dikelolah dengan menimbang aspek ABC (abiotik, biotik and culture).
Dua hal ini perlu terus disuarakan demi menjaga asa tetap optimis dapat terus bergerak dalam aksi-aksi pemulihan bumi dan tidak terjebak dalam kurungan Peti sebagaimana imajinasi penyair Taufiq Ismail tentang kisah Fariduddin Attar yang melihat dunia seperti peti dimana orang-orang terkurung di dalamnya hanya sedang sibuk membuat peti-peti kecil.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.