Opini
Renungan Etika dan Norma Penyiaran Dalam Polemik Azan
Dalam derau kehidupan sehari-hari, muncul sebuah tayangan di televisi, mendadak menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat kita.
Oleh: Rahma Saiyed, S.S., M.Comn
Dosen, mantan komisioner KPID Sulsel 2010-2013
Di tengah-tengah palung zaman yang memunculkan batasan antara suci dan profan, kita dipaksa untuk kembali berlabuh pada interpretasi kebijakan dan etika yang membumi.
Dalam derau kehidupan sehari-hari, muncul sebuah tayangan di televisi, mendadak menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat kita.
Sebuah tayangan adzan, panggilan suci yang selalu kita dengar setiap hari, kini hadir dengan latar yang berbeda, membawa wajah seseorang yang berharap untuk menjadi pemimpin kita di masa depan.
Dalam kontek sini, mengaitkan gema suci dengan tokoh politik, telah menimbulkan beberapa pertanyaan etis dan moral yang perlu kita renungkan secara hati-hati.
Dalam paradigma etika penyiaran, pertanyaan mendesak adalah apakah tayangan ini menciptakan harmoni atau dissonansi dalam masyarakat kita.
Apakah itu menjunjung tinggi prinsip keseimbangan dan keadilan seperti yang diamantkan Pasal 4 UU Penyiaran, ataukah itu justru membawa nada yang tidak selaras dengan norma kebenaran objektif?
Dari perspektif moral atau etika, kita diajak untuk berkontemplasi tentang efek menggabungkan simbol keagamaan dengan dinamika politik yang sangat kompleks.
Dalam cahaya nurani kolektif, kita diingatkan bahwa gema azan harus independen dari kepentingan komersial atau politik, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 15 UU Penyiaran.
Saat ini, kita berada di persimpangan jalan dimana kita harus memilih antara menjaga panggilan zan atau membiarkannya tenggelam dalam keriuhan kompleks ruang publik yang berkembang.
Menurut Undang-Undang Penyiaran di Indonesia, setiap konten yang disiarkan harus mematuhi norma-norma yang berlaku, termasuk tidak menyalahgunakan konten untuk kepentingan pribadi atau politik.
Penggunaa ntayangan adzan oleh seorang bakal calon presiden, dapat dilihat sebagai pemanfaatan momen keagamaan untuk kepentingan politik, yang dapat dianggap melanggar aturan tersebut.
Namun, apakah itu dianggap sebagai iklan atau tidak, harus ditentukan lebih lanjut berdasarkan konteks spesifik tayangan tersebut.
Kritik dapat muncul jika tayangan tersebut secara eksplisit mempromosikan bakal calon tersebut atau mencoba untuk mengasosiasikan dirinya dengan nilai-nilai atau simbol agama.
KPI telah berbicara, menyatakan bahwa apa yang kita lihat di layar televisi, tidak bertentangan dengan UU Nomor 32/2004 tentang Penyiaran.
Memang, di atas kertas, segalanya tampak sesuai dan berada dalam koridor yang benar.
Tetapi, apakah cukup hanya berpedoman pada hukum semata? Jauh di lubuk hati, kita merasa ada yang kurang pas.
Adzan, yang telah menjadi menjadi panggilan suci yang menghubungkan kita dengan Sang Pencipta, kini muncul dalam wadah berbeda, menciptakan sensasi yang berbeda di hati kita.
Dengan mempromosikan rasa kebersamaan dan menghormati keanekaragaman, kita diajak untuk merenung, menggali lebih dalam makna di balik fenomena ini.
Ada kalangan yang memandang bahwa ini sebagai strategi yang jitu, dan apakah ini menjadi pintu menuju tren baru di dunia politik kita?
Kecenderungan di mana simbol-simbol agama diperbolehkan berkolaborasi dengan arena politik, menciptakan harmoni atau sebaliknya?
Menjelang Pemilu 2024, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai penjaga etika penyiaran, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan mematuhi norma dan standar yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini, keputusan KPI untuk tidak menganggap tayangan tersebut sebagai pelanggaran, mungkin menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada memberikan jawaban.
Mengingat betapa pentingnya pemilihan umum yang sebentar lagi akan kita hadapi, kita harus mempertanyakan pengaruh tayangan semacam ini terhadap psikologi pemilih.
Dalam konteks ini, pertanyaan utama yang harus kita tanyakan adalah apakah kita siap untuk memasuki dunia di mana simbol keagamaan menjadi alat dalam permainan politik ?
Yang pasti, tidak semua pemilih akan merespons dengan cara yang sama.
Pengaruh tayangan azan, seperti pengaruh media lainnya, dapat memainkan peran dalam pemilihan, tetapi tidak menjadi satu-satunya faktor yang mempengaruhi keputusan pemilih.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.