Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Timsel Fitrinela Patonangi Diganti, Pakar Hukum Sebut KPU RI Subjektif dan Tak Profesional

Guru besar Fakultas Hukum UNHAS Prof Andi Pangerang Moenta mengatakan KPU RI tidak mencermati substansi putusan DKPP yang diterima Fitrinela Patonangi

Editor: Ari Maryadi
Tribun Sulbar
Mantan Komisioner KPU Polman dan Komisioner Bawaslu Sulbar Fitrinela Patonangi. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Dianulirnya Fitrinela Patonangi dari komposisi Tim Seleksi (Timsel) KPU Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, berbuntut panjang.

Sejumlah pakar hukum dan akademisi menilai KPU RI tidak profesional dan subjektif.

Guru besar Fakultas Hukum Unhas, Prof Andi Pangerang Moenta, mengatakan, KPU RI tidak mencermati substansi putusan DKPP yang diterima Fitrinela.

Ia menilai keputusan penggantian Fitrinela sebagai Timsel tidak didasarkan data yang valid dan objektif. Namun hanya berdasar subjektifitas laporan atau aduan masyarakat yang belum teruji kebenarannya.

Kata dia, Fitrinela mampu membuktikan dirinya tidak berKTP ganda, sebagaimana aduan pada DKPP saat menjabat komisioner KPU Polewali Mandar (Polman). Sehingga KPU Sulawesi Barat (Sulbar) mengaktifkan kembali hak dan kedudukannya.

“Terlebih Fitrinela kemudian terpilih menjadi Anggota Bawaslu Provinsi Sulbar dan menjadi Ketua Bawaslu Sulbar, semakin menguatkan jika Fitrinela tidak memiliki cacat etik sebagai penyelenggara,” tegas Prof Andi Pengerang.

Menurut dosen hukum konstitusi tersebut, KPU RI perlu mengklarifikasi penggantian ini secara profesional dan cermat. Sebab menyangkut nama baik seseorang.

Tanggapan senada juga disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Dr.Herdiansyah Hamzah.

Dosen hukum tata negara tersebut berpendapat, sikap KPU RI tidak sesederhana membatalkan keterlibatan Fitrinela sebagai Timsel. Namun menyandera yang bersangkutan pada opini publik yang negatif.

“Bagaimana mungkin keputusan diambil tanpa mendengar pembelaan orang yang diganti, itu unfair process,” ungkapnya.

Lebih lanjut Herdiansyah menyebut, KPU mesti belajar bersikap adil sejak saat dinamika seleksi di hulu process. Menurutnya, orang hukum itu mesti firm, mengambil keputusan harus berdasarkan proses yang seimbang, verified, dan imparsial.

“Nggak bisa seperti cowboy, semaunya tanpa proses yang cermat. Kalau hulu prosesnya saja begitu, bagaimana mau menjaga pemilu demokratis di hilir process,” tandasnya.

Peneliti pada Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Unmul tersebut juga menilai KPU RI seharusnya tidak bersandar pada dugaan maupun aduan masyarakat dalam mengambil keputusan.

“Jika didudukkan pada konteks fair trial, kalau due process-nya nggak jalan, bisa dipersoalkan,” kuncinya.

Fitrinela Patonangi Sebut Tak Terbukti Langgar Etik

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved