Opini
Rakernas APEKSI 2023: Pentingnya Tata Ruang Kota yang Berbasis Lingkungan
Sebuah kebanggaan terhadap Wali Kota Makassar yang telah siap menjadikan Makassar sebagai tuan rumah kegiatan Rakernas APEKSI ini.
Oleh: Engki Fatiawan
Mahasiswa Ilmu Tanah Unhas & Ketua Korkom IMM Unhas
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) XVI 2023 yang dilaksanakan di Kota Makassar berjalan lancar dan meriah.
Rakernas ini dilaksanakan pada 12-14 Juli 2023.
Sebuah kebanggaan terhadap Wali Kota Makassar yang telah siap menjadikan Makassar sebagai tuan rumah kegiatan Rakernas APEKSI ini.
Rakernas APEKSI 2023 ini bertajuk “Kota Kita Maju, Indonesia Kita Kuat” yang dihadiri oleh 88 wali kota serta pejabat pemerintahan dari seluruh Indoensia.
Ajang ini bukan hanya sekedar seremoni akan tetapi memiliki substansi yang didalamnya ada pesan utama yang akan digagas.
Ketiga pesan utama yang ingin digagas berdasarkan yang disampaikan oleh Ketua APEKSI Bima Arya yaitu apeksi mengawal otonomi, optimis menuju Indonesia emas 2045, dan semangat politik pembangunan yang terkordinasi dengan baik antara pusat dan daerah.
Pada dasarnya kota menjadi sebuah pusat perhatian baik dari segi ekonomi karena menjadi pusat perputaran ekonomi maupun dari aspek sosial, budaya, politik, ataupun lingkungan.
Satu dekade terakhir pertumbuhan penduduk di perkotaan semakin bertambah. Hal ini menjadi masalah dan tantangan bagi suatu tata kelola perkotaan.
Urbanisasi semakin meningkat dalam setiap tahunnya.
Peningkatan populasi penduduk di perkotaan tentunya menimbulkan dampak yang buruk bagi perkotaan.
Tentunya hal tersebut perlu diantisipasi untuk mengurangi kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Bukan hanya dampak sosial atau ekonomi akan tetapi juga dampak lingkungan yang akan terjadi.
Jumlah penduduk yang semakin bertambah di perkotaan jika ditinjau dari aspek keruangan maka kebutuhan akan ruang hidup juga semakin bertambah.
Bangunan-bangunan liar yang tidak memiliki izin akan terbangun di atas lahan yang tidak diperuntukkan membangun.
Rumah-rumah di belantaran sungai, di rawa-rawa yang ditimbun pun dijadikan bangunan rumah di atasnya.
Biasanya pembangunan tersebut tidak sesuai dengan peruntukan dalam rencana tata ruang wilayah.
Seiring berjalannya waktu ada dampak yang ditimbulkan yang merugikan masyarakat itu sendiri.
Hampir semua Kota-kota besar yang ada di Indonesia menjadi langganan banjir pada saat musim hujan.
Hal ini merupakan sebagai akibat terganggunya siklus air (hidrologi) yang ada di perkotaan.
Lahan-lahan terbuka yang dijadikan sebagai daerah resapan air berubah menjadi bangunan yang berbasis betonisasi.
Akibatnya air sulit meresap sehingga aliran permukaan meningkat yang kemudian akan membuat banjir dan genangan.
Bukan hanya itu, terganggunya siklus air yang ada di perkotaan juga berpengaruh terhadap ketersediaan air domestik.
Air tanah yang banyak digunakan oleh masyarakat kota berkurang karena tidak terjadi keseimbangan antara pemasukan air yang berasal dari hujan dengan air keluar melalui sumur galian atau sumur bor untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat dan industri.
Hal ini biasanya luput dalam perencanaan padahal penanganan air tanah juga tidak kalah pentingnya dengan penanganan banjir di perkotaan.
Selain itu, permasalahan lingkungan di suatu kota menjadi isu yang tidak pernah habisnya.
Kota-kota yang ada di Indonesia juga masih dihantui permasalahan polusi udara baik polusi kendaraan mauapun dari industri.
Begitupun dengan suhu kota yang panas akibat kurangya ruang terbuka hijau. Sudah seharusnya hal ini juga perlu diperhatikan dalam Rakernas APEKSI 2023.
Green city atau kota hijau merupakan konsep pembangunan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Konsep pembangunan kota yang berbasis lingkungan sudah seharusnya diterapkan di kota-kota yang ada di Indonesia.
Hal ini dikarenakan untuk mengurangi dampak lingkungan yang akan menyebabkan bencana seperti banjir, kekurangan air, pencemaran air, polusi udara, dan sebagainya.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan selain menambah ruang terbuka hijau, memperluas drainase juga dapat dilakukan pembangunan yang berbasis smart development.
Sebagai salah satu contoh dalam pembangunan jalan beraspal dapat menggunakan aspal yang berpori.
Hal ini bertujuan untuk meresapkan air ke dalam tanah.
Bisa juga dilakukan pembuatan sumur resapan dalam setiap rumah untuk membantu menanmpung dan meresapkan air ke dalam tanah.
Di tahun 2045, apabila kota tidak di rencanakan dengan berbasis lingkungan maka kota-kota di Indonesia, bisa saja dampak banjir dan kekeringannya semakin bertambah begitupun dengan polusi udaranya.
Bagaimana mungkin kota bisa maju dan kuat apabila lingkungan fisiknya tidak mendukung.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan kembali bagi semua stakeholder baik pemerintah maupun swasta akan pentingnya pembangunan kota berbasis lingkungan.
Pembangunan kota yang berbasis lingkungan berkelanjutan dapat terealisasi jika terkoordinasi dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah.
Tentunya pemerintah pusat harus banyak mendengar dari daerah sebagai dasar pertimbangan dalam membuat sebuah kebijakan.
Karena jangan sampai kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
Tentunya hal itu akan menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kebijakan harus dibuat memang untuk kepentingan bersama, kepentingan rakyat, dan kepentingan bangsa bukan hanya sekedar membuat kebijakan untuk melicinkan bisnis kolega atau suksesi untuk pemilihan selanjutnya.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Engki-Fatiawan-Mahasiswa-Ilmu-Tanah-Unhas-Ketua-Korkom-IMM-Unhas.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.