Opini Tribun Timur
Iduladha: Pelajaran untuk Orang Tua dan Anak Indonesia
Sekalipun bencana juga mengiringi kehidupan kita, namun bukan berarti itu menjadi alasan untuk tidak bersyukur.
Ismail Suardi Wekke
Ketua STIA Abdul Haris, Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Sebuah kesyukuran kita berjumpa lagi dengan Idul Adha. Bulan Haji, datang lagi menyapa kita.Dengan kondisi Indonesia yang selalu aman, dan juga dengan kelimpahan rejeki berupa banyak
hal, kita perlu bersyukur.
Sekalipun bencana juga mengiringi kehidupan kita, namun bukan berarti itu menjadi alasan untuk tidak bersyukur.
Tanah air Indonesia, selalu saja mendapatkan anugerah dan cucuran Rahmat Allah. Termasuk kemerdekaan yang kita dapatkan. Dimana dua purnama yang akan datang kita akan memeringati bulan kemerdekaan, Agustus.
Nabi Ibrahim dan juga Nabi Ismail mewariskan kepada kita pelajaran yang termaktub dalam Alquran. Bahkan tetap saja, apa yang dilakoni Ibrahim dan Ismail, relasi orang tua dan anak yang kita teladani dan jadikan laku dalam kehidupan kita masing-masing.
Mulai dari pelaksanaan haji. Sai dari Marwah ke Shafa, diawali dari pencarian air untuk sang anak, Ismail. Kemudian, pada bagian idul adha. Juga, diawali dari perintah menyembelih sang anak. Pelajaran diantaranya adalah soal kasih sayang. Seorang ibu, sekalipun masih lemah usai melahirkan.
Tetap saja berlari dan bahkan tidak lagi memikirkan dirinya demi kelangungan hidup anaknya sendiri.
Maka, dari sini kita mengenali fatamorgana. Jangan sampai hanya pada ilusi kehidupan kita senantiasa terus berlari mencarinya. Padahal, itu tidak ada. Maka, perlu segera menyadari apa yang kita kejar. Jangan sampai semuanya hanya bayangan belaka.
Sementara hubungan antara ayah-anak usai mendapatkan mimpi. Ada kalimat “apa pendapat anda?”. Serta merta bukanlah perintah. Justru, meminta pendapat kepada seorang anak.
Maka, dalam konteks kekinian. Anak dan orang tua tetap saja ada ruang diskusi. Bukan hanya soal perintah yang ada. Dalam dialog antara Ibrahim dan Ismail, terlihat bahwa ada hak anak untuk turut didengarkan.
Sehingga pada kesempatan ini, percakapan antara anggota keluarga merupakan sebuahkebutuhan. Bukan pada sistem hirarki semata.
Dengan adanya ruang untuk dialog, menjadi kesempatan untuk saling memahami. Terkadang, salah faham bisa muncul jikalau kesempatan untuk bicara semakin berkurang.
Tantangan yang ada dalam era kita adalah hadirnya gawai yang menjadi penghalang wujudnya percakapan diantara keluarga. Justru dengan adanya alat-alat itu semua, maka percakapan perlu dikreasikan dalam pelbagai kesempatan.
Jangan sampai, kehangatan keluarga menjadi hilang lenyap. Justru yang hadir adalah mesin- mesin eletronik. Dari Pesan Keagamaan ke Praktik Kebangsaan Sebagai bangsa yang meletakkan agama dalam sila pertama, maka pada aktivitas kemasyarakatan tidak dapat meninggalkan pesan agama untuk menjadi panduan kehidupan.
Pelaksanaan kewajiban beragama individual dalam konteks kebersamaan yang menjelma di masyarakat, menjadi pemicu bagi kebaikan dalam skala yang luas. Idealnya, dengan menjalankan amal salih, maka kesalehan sosial juga akan terbentuk. Dalam beberapa peristiwa, justru ketika usai shalat idul fitri ataupun idul adha, sampah justru
bertebaran di lapangan tempat shalat.
Maka, perlu formulasi bagaimana ibadah yang ditegakkan dalam konteks hablun minallah (hubungan dengan Allah) kemudian bisa juga berdampak bagi hablun minannas (hubungan dengan manusia).
Surat untuk Presiden Prabowo: Bapak akan Tersenyum di Hadapan Tuhan Bersama Semua Pahlawan itu |
![]() |
---|
Opini Kemandirian Pangan: Menakar peran Strategis Peternakan |
![]() |
---|
Ketidakadilan Pemantik Kericuhan Sosial |
![]() |
---|
Panggilan Jiwa Presiden Mengisi Perut Rakyat Terus Melaju |
![]() |
---|
Bukan Rapat Biasa, Ini Strategi Cerdas Daeng Manye Mencari 'The Next Top Leader' di Takalar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.