Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Homeshooling, Cocok Kah Buat Keluarga Saya?

Model dan ide belajar dalam HS sangat banyak dan beragam. Tidak melulu persis model yang dikenalkan oleh sekolah konvensional.

zoom-inlihat foto Homeshooling, Cocok Kah Buat Keluarga Saya?
int
jowvy kumala

Oleh: Jowvy Kumala

Lulusan Teknik Sipil Unhas/Praktisi Homeschooling anak usia sekolah. Memilih kembali ke Makassar, setelah pensiun dari perusahaan telekomunikasi dan sekarang lebih banyak aktif sebagai Instruktur Selam


TRIBUN-TIMUR.COM - Sering dengar istilah ‘Homeschooling’ (berikutnya akan ditulis singkat dengan HS)? atau bahkan sudah tau sedikit banyak tentang metode pendidikan ini? Tertarik melakukan tapi belum sepenuhnya yakin? nah yuk kita bahas.

Marsha Ransom, penulis buku “The Complete Idiot’s Guide to Homeschooling”, mengatakan, HS adalah istilah generik yang sering digunakan untuk menggambarkan keluarga-keluarga yang memilih untuk mendidik anaknya di rumah.

Model dan ide belajar dalam HS sangat banyak dan beragam. Tidak melulu persis model yang dikenalkan oleh sekolah konvensional.

Cara belajarnya bisa macam-macam tergantung nilai dalam keluarga. Potensi anak dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Menu belajarnyapun dipersonalisasi sesuai kondisi dan minat anak.

Sebagai contoh, keluarga yang gemar membaca, proses belajar akan banyak mengandalkan materi dan media dari dunia buku. Keluarga yang menyukai sport bisa belajar dari pendekatan aktifitas sport yang disukai, misal berlatih berlari, naik sepeda, atau diving.

Keluarga doyan traveling ya proses belajarnya ketika melakukan traveling itu sendiri.

Anak adalah subyek pendidikan yang tidak dipaksa mengikuti sebuah kurikulum atau metode tertentu.

Melainkan ia menjadi alat ukur/uji apakah sebuah kurikulum, metode, materi ajar dan pendukungnya, efektif atau tidak untuk mengembangkan potensi anak.

Kesalahpahaman Terhadap Homeschooling

Kendatipun istilah HS sudah cukup familiar, tetapi masih ada kesalahpahaman dalam mengartikannya. Seperti, harus mendaftar ke mana? Apakah orangtua yang mengajarkan semua mata pelajaran? Apakah hanya untuk anak berkebutuhan khusus atau berprestasi tertentu?

Sebagai model pendidikan berbasis keluarga yang non-institusional, HS bukanlah sebuah lembaga. Tidak ada referensi manapun yang menyebutkan HS itu adalah mendaftarkan anak pada sebuah lembaga tertentu. Sebutan ‘homeschooling’ melekat pada keluarga yang menjalaninya, bukan pada sebuah lembaga.

Jika ada lembaga yang menamakan diri sebagai HS, sebetulnya ia tetap disebut sekolah tapi sifatnya flexischool. Murid-muridnyapun mengikuti paket dan program tertentu rancangan dari lembaga.

Beda halnya dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) sebagai salah satu satuan pendidikan non formal, PKBM menjadi wadah bagi kegiatan masyarakat untuk lebih meningkatkan potensi diri dan keterampilan melalui cakupan kegiatan seperti Paket Kejar, PAUD dan Taman Bacaan Masyarakat.

Faktanya, praktik HS bukanlah sebagai pengganti sekolah dengan gambaran anak yang belajar dikurung di rumah, memanggil guru privat dan sedang mempelajari mata pelajaran seperti di sekolah.

Anak-anak HS itu bisa belajar apa saja, di mana saja, kepada siapa saja. Online maupun offline. Kadang mereka belajar di taman, di perpustakaan, di kampus sebuah universitas, di kafe ataupun di rumah keluarga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan homeschooling.

Begitu juga dengan guru-gurunya. Biasanya yang mengajar adalah tutor-tutor yang ahli di bidangnya masing-masing atau bisa juga orang tua yang berbagi peran mengajarkan beberapa mata pelajaran yang diminati oleh anak.

Hasilnya bisa lebih baik, bisa pula lebih buruk. Tergantung kapasitas dan kreatifitas ortu dalam menyiasati proses menjalankannya. Dalam hal ini, posisi ortu lebih pada mengajarkan ketrampilan belajar online, ketrampilan bersosialisasi, juga menyelesaikan problem. Jadi, bukan memindahkan aktifitas sekolah ke rumah.

Mengingat semua anak adalah istimewa, maka semua anak manapun bisa memilih melakukan HS. Tidak ada kriteria tertentu anak mana yang lebih cocok untuk menjalani HS, karena itu adalah opsi.

Setiap opsi akan ada konsekwensinya. Misalkan ketika infrastrukturnya berbeda, maka proses dan outputnya juga berbeda. Tidak ada sistem yang sempurna, semua ada kekuatan dan kelemahan.

Yang penting adalah bagaiman praktisi mengenali tujuan HS untuk apa. Ingin anak kita menjadi seperti apa. Karena di sana tidak ada standar harus belajar apa. Pendekatan awalnya adalah melalui belajar Life Skill atau melalui minat dan bakat yang dimiliki ayah-ibunya.

HS membuka kesempatan pada anak untuk belajar apa saja dan menghasilkan karya dan produk. Lalu untuk memantau perkembangan pembelajaran anak, setiap skill yang dipelajari beserta kemajuan yang dialami dapat didokumentasikan dalam sebuah portfolio.

Tentang Legalitas

Ada beberapa negara di Eropa yang ternyata tidak membolehkan praktik HS. Seperti Estonia, Belanda, Jerman, Brazil, Cuba, Cyprus, Albania, Malta, Serbia dan Turki. Menurut situs www.homeschoolundersiege.com alasannya adalah demi mengantisipasi pengaruh buruk ke politik dan agama serta peningkatan masalah dalam urusan sosial toleransi.

Syukurnya, di Indonesia secara prinsip HS adalah legal dan tidak masalah dijalani. Sesuai dengan kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia yang diatur dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Di sana disebutkan mengenai keberadaan tiga jalur pendidikan yang diakui pemerintah, yaitu: jalur pendidikan formal (sekolah), nonformal (kursus, pendidikan kesetaraan) dan informal (pendidikan oleh keluarga dan lingkungan).

Istilah homeschooling atau sekolahrumah, masuk dalam substansi pendidikan informal sesuai yang diatur dalam pasal 27.

Anak-anak HS akan mendapatkan ijazah dengan cara ikut ujian kesetaraan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Terdiri atas tiga jenjang yaitu Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).

Cara mendapatkan ijazah tersebut adalah dengan mendaftarkan anak di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), karena badan inilah yang berhak menyelenggarakan Ujian Paket.

Pendaftaran dilakukan sejak anak tidak bersekolah. Prosesnya dilakukan melalui mutasi dari sekolah ke PKBM. Proses mutasi itu sendiri, dilakukan sejak anak tidak bersekolah lagi, tidak bisa dilakukan menjelang ujian Paket.

Bermodal ijazah Paket C, seorang anak HS bisa lanjut ke Perguruan Tinggi manapun yang diinginkannya. Sudah banyak anak-anak HS yang mengikuti ujian Paket C dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta.

Pilih Homeschooling apa Sekolah ya?

Sebelum menjawab, mari kita lihat dulu apa perbedaan dan persamaan antara HS dan Sekolah.

Baik sekolah ataupun HS sama-sama merupakan alat (tools) untuk mencapai tujuan pendidikan. Sama-sama mengatasnamakan kepentingan anak yang bertujuan untuk meraih kebaikan bagi masa depan mereka.

Keduanya sama-sama legal dan dilindungi keberadaannya oleh Undang-undang dan aturan hukum di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan perbedaan antara HS dan sekolah? Mari kita analogikan seperti pakaian. Ada pakaian jadi buatan pabrik, ada lagi yang buatan penjahit. Kebayang kan, hasil produksi pabrik itu macam-macam tapi modelnya standar-seragam-banyak. Kita kalau butuh tinggal memilih size yang sesuai, bayar.

Pakaian buatan pabrik adalah analogi untuk proses belajar di sekolah. Sementara, HS itu mirip bikin baju yang dibuat di butik. Kita tentukan sendiri modelnya, bahannya dan ukurannya yang sesuai dengan badan kita.

Inti perbedaannya, sekolah sistemnya paket jadi, sentralisasi, ada tolok ukur yang dilihat dari nilai (angka), naik kelas dan lulus sekolah. Sementara HS yang seperti butik, memungkinkan adanya kustomisasi, otonom, serta sistem modular. Dimana anak bisa belajar dengan kecepatannya sendiri, fleksibel, terampil dalam kehidupan nyata, ada target pada apa yang mau dikejar.

Di sekolah, anak kita diajar oleh orang lain dan ortu membantu dalam porsi yang minim. Sedangkan pada HS, ortu yang dituntut untuk kreatif memikirkan materi dan strategi belajar untuk anaknya.

Bagaimana mengisi waktu luang anak-anak kita, itu yang jadi dasar pada praktik HS. Sehingga, apa yang ada dan terdekat itulah yang bisa dijadikan media belajar. Menjadi lentur, adalah kunci dalam menjalankan HS, itulah mengapa HS tidak memiliki model standar.

Saya sendiri baru menjadi praktisi HS ketika usia anak saya 11 tahun. Tepatnya mulai kelas 6 Sekolah Dasar, pada tahun 2020 yang lalu.

Dalam praktiknya, pendekatan proses belajar yang kami lakukan lebih banyak dari sisi hal-hal yang diminati anak. Misalnya, belajar geografi melalui aktifitas traveling. Sekaligus mengasah kemampuan manajemen waktu dan perencanaan.

Pola belajar lebih banyak diarahkan ke model tematik. Misal, melalui kegiatan memasak suatu jenis menu makanan, secara tak langsung anak sudah belajar matematika, science, empati, sensori, kerjasama juga literasi.

Banyak sumber pembelajaran yang diambil secara online ataupun melalui pelatihan-pelatihan singkat dengan pihak luar seperti bimbingan kursus.

Bergabung dalam komunitas remaja sesama praktisi homeschooling yang tersebar di seluruh Indonesia, juga menjadi salah satu media belajar.

Khususnya untuk mengasah ketrampilan public speaking, presentasi atau mendengar aktif.

Cara menjalankan HS dalam setiap keluarga bisa jadi akan berbeda satu dengan yang lain.

Tapi karena itulah praktisi HS menjadi unik dan bisa saling menginspirasi satu dengan yang lainnya.

Nah, Bagaimana? Kira-kira cukup menarik kah pilihan homeschooling ini?(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved