Tribun Economic Perspective
Mitigasi Risiko Ekonomi Global
The Global Risk Report tahun 2023 mengidentifikasi kurang lebih 30 risiko berpotensi dihadapi oleh perekonomian global.
Oleh:
Muhammad Syarkawi Rauf
Tenaga Pengajar FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX
TRIBUN-TIMUR.COM - Perekonomian global dalam satu dekade ke depan menghadapi tekanan yang semakin luas, tidak hanya tekanan yang berkaitan dengan pandemi Covid dan invasi Rusia ke Ukraina.
Namun, tekanan terhadap perekonomian global juga berkaitan dengan bencana alam, cuaca ekstrim, kerusakan lingkungan, dan lemahnya kemampuan mitigasi risiko lingkungan.
Kecenderungan tersebut populer dengan istilah “polycrisis” sebagaimana yang pertama kali diperkenalkan dalam The Global Risk Report edisi ke-18, tahun 2023, yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) pada awal tahun 2023.
The Global Risk Report tahun 2023 mengidentifikasi kurang lebih 30 risiko jangka pendek dan jangka panjang yang berpotensi dihadapi oleh perekonomian global.
Namun, tulisan ini hanya fokus pada isu yang berkaitan dengan krisis biaya hidup, krisis utang, gangguan rantai pasok, dan berakhirnya era suku bunga rendah.
Perkembangan perekonomian global dalam satu dekade ke depan masih akan sangat tergantung pada tiga perekonomian terbesar dunia yang menguasai 55 persen dari Gross Domestic Product (GDP) global.
Di mana perekonomian AS menguasai sekitar 25 persen, China sekitar 18 persen dan Uni Eropa sekitar 12 persen dari GDP global.
Perkembangan perekonomian global hingga kuartal pertama tahun 2023 menunjukkan tren yang positif.
Di mana pertumbuhan ekonomi AS, China dan Zona Euro secara berturut-turut dalam dua kuartal terakhir mengalami kenaikan atau tumbuh positif. Namun, pertumbuhan ekonomi AS dan Zona Euro secara tahunan mengalami penurunan.
Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal keempat tahun 2022, secara tahunan (y.o.y) tumbuh sekitar 2,6 persen. Selanjutnya, pertumbuhan positif berlanjut pada kuartal pertama tahun 2023, yaitu sebesar 1,3 persen.
Angka pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pelaku pasar yang memperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 1,1 persen.
Pertumbuhan ekonomi AS didorong oleh beberapa faktor, dari sisi permintaan, investasi mengalami pertumbuhan sekitar 2,1 persen.
Demikian juga dengan konsumsi rumah tangga yang mengalami pertumbuhan tertinggi sekitar 3,8 persen. Lebih tinggi dibanding perkiraan pelaku pasar sekitar 3,7 persen.
Sementara dari sisi inflasi, trennya juga mengalami penurunan, yaitu dari 6,5 persen pada Desember 2022 menjadi hanya 4,9 persen pada April 2023.
Namun demikian angka inflasi AS masih jauh lebih besar dibandingkan dengan target The Fed, bank sentral AS, sebesar 2 persen.
Hal ini mendorong The Fed secara konsisten menaikkan suku acuan dari 5 persen pada April 2023 menjadi 5,25 persen pada Mei 2023.
Tren kenaikan Federal Fund Rate (FFR) akan terus terjadi hingga inflasi AS turun menjadi sekitar 2 persen. Namun, tekanan inflasi semakin rendah yang tercermin pada persentase kenaikan FFR yang semakin kecil.
Kecenderungan yang sama juga terjadi pada perekonomian Zona Euro, yaitu mengalami pertumbuhan positif dalam dua kuartal secara berturut-turut.
Pertumbuhan ekonomi Zona Euro positif 1,8 persen pada kuartal keempat 2022 dan positif 1,3 persen pada kuartal pertama 2023.
Dimana perekonomian Zona Euro sangat tergantung pada empat perekonomian terbesar, yaitu Jerman yang menyumbang 29 persen, Perancis menyumbang 20 persen, Italia menyumbang 15 persen dan Spanyol berkontribusi 10 persen dari total GDP Zona Euro.
Pertumbuhan positif perekonomian Zona Euro ditopang oleh belanja rumah tangga yang berkontribusi 54 persen terhadap perekonomian Zona Euro. Sementara investasi berkontribusi 21 persen, pengeluaran pemerintah 20 persen dan net export berkontribusi 4 persen terhadap perekonomian Zona Euro.
Selanjutnya dari sisi inflasi, perekonomian Zona Euro juga mengalami tren yang menurun. Namun, angka inflasi Zona Euro masih jauh dari target European Central Bank (ECB) sekitar 2 persen.
Inflasi Zona Euro menurun dari 8,6 persen pada Januari 2023 menjadi 7 persen pada April 2023. Hal ini mendorong ECB menaikkan suku acuan dari 3,5 persen pada April 2023 menjadi 3,75 persen pada Mei 2023.
Sementara perekonomian China menunjukkan kinerja terbaik dibandingkan perekonomian AS dan Zona Euro.
Pertumbuhan ekonomi China meningkat secara tahunan dari 2,9 persen pada kuartal keempat 2022 menjadi 4,5 persen pada kuartal pertama 2023.
Pemulihan ekonomi China masih jauh dari ideal mengingat permintaan domestik dan luar negeri yang belum kembali kepada situasi sebelum pandemi Covid-19.
Perkembangan inflasi China juga semakin menurun yang mengarah ke deflasi. Dimana inflasi China pada Januari sebesar 2,3 persen menurun menjadi 1 persen pada Februari, 0,7 persen pada Maret, dan 0,1 persen pada April 2023.
Tren ini diikuti oleh penurunan suku bunga acuan dari 3,7 persen pada September 2022 menjadi 3 persen pada Mei 2023.
Lalu apa dampaknya terhadap Indonesia? Perkembangan perekonomian global yang semakin baik berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia dengan sejumlah risiko yang berkaitan dengan suku bunga, inflasi, dan biaya utang tinggi.
Hal ini mendorong Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan dari 5,5 persen pada Desember 2022 menjadi 5,75 persen pada Januari 2023.
Namun, persentase kenaikan suku bunga acuan semakin rendah yang mencerminkan tekanan terhadap perekonomian nasional semakin kecil.
Langkah mitigasi risiko yang dapat dilakukan ke depan adalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 4,5 – 5,3 persen tahun 2023 melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter yang tepat untuk menjamin likuiditas perekonoian nasional.
Tren inflasi yang semakin menurun dapat direspon dengan tetap menjaga suku bunga acuan paling tidak pada angka 5,75 persen untuk menjaga agar pertumbuhan kredit tetap tinggi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.