Headline Tribun Timur
Dampak Pandemi, Anak Terpapar Konten Negatif di Internet
Komunikasi anak-anak dalam berpacaran semakin intens saat pandemi covid-19, sehingga itu juga memicu pernikahan anak.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pandemi Covid-19 yang mengharuskan pembelajaran jarak jauh (online) telah memberikan dampak cukup besar terhadap naiknya angka pernikahan anak.
“Komunikasi anak-anak dalam berpacaran semakin intens, sehingga itu juga memicu,” kata Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sulsel, Meisy Papayungan.
Hal sama dikatakan Kepala UNICEF Wilayah Sulawesi dan Maluku, Henky Widjaja.
Menurutnya, penggunaan gawai pada saat pembelajaran jarak jauh (PJJ), membuat paparan terhadap hal-hal negatif di internet semakin besar.
“Juga meningkatnya kasus kekerasan seksual dan KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) yang menyebabkan anak terpaksa menyetujui pernikahan,” jelas Henky.
Henky dan Meisy juga menyebut budaya di masyarakat masih mendukung terjadinya pernikahan anak.
“Budaya tidak boleh menolak pelamar, uang panaik tinggi, atau kalau sudah menstruasi dianggap layak menikah,” kata Henky.
Ketika anak kedapatan berduaan atau berpacaran, imbuh Meisy, dianggap sangat berbahaya.
Untuk menghindari malu keluarga, diputuskan secepatnya dinikahkan.
Banyak pula perkawinan usia anak yang terjadi karena anak putus sekolah dan orang tuanya sudah tidak mampu.
Dan, masih ada orang tua yang beranggapan bahwa menikahkan anak merupakan solusi untuk melepaskan tanggung jawab.
“Menikahkan dengan dalih tanggung jawabnya berpindah ke suami dan bukan lagi tanggung jawab orang tuanya,” ungkap Meisy.
Padahal, pernikahan siri akan memberi dampak besar kepada anak.
Selain sulit mendapat kartu keluarga, terdapat frasa anak di luar pernikahan dalam akta kelahiran yang bisa menjadi beban moral untuk anak, sulit mendapat jaminan sosial dan sulit mendapat warisan bila terjadi perceraian atau kematian.
Baca juga: 2.572 Anak di Sulsel Nikah Muda
Baca juga: Hamil di Luar Nikah, PA Pinrang Kabulkan 8 Permintaan Dispensasi Nikah Anak di Bawah Umur
Yang lebih mengkhawatirkan, jika anak yang dinikahkan sudah harus berkeluarga namun tidak memiliki kapasitas untuk menjadi orang tua.
“Ada yang laki-laki belum tamat (sekolah), perempuan belum tamat. Bagaimana menafkahi keluarga, mengasuh anak, membina relasi dengan pasangan?” tukas Meisy.
Ketidakmampuan dan ketidaksiapan secara finansial, emosional dan psikologis juga dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dapat memicu perceraian.
“Kalau kembali ke orang tua, orang tuanya miskin. Bukannya tambah membebani keluarganya?” kata Meisy.
Dia pun kerap melihat kasus perceraian terjadi begitu cepat setelah pernikahan.
“Ada yang cuma setahun kemudian bercerai dan kembali menjadi beban lagi ke orang tuanya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.