Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Catatan Kecil Buat Prof Hamdan Juhannis: Jalan Tengah Idiologi dan Metodologi Keberagamaan

Dimaknai juga sebagai jalan keselamatan. Bahkan menurut beliau Jalan Tengah bisa menjadi ideologi sekaligus metodologi beragamaan.

Editor: Saldy Irawan
TRIBUN TIMUR/DESI TRIANA ASWAN
Dosen Unismuh, Dr Amir Muhiddin 

Oleh: Amir Muhiddin


TRIBUN-TIMUR.COM - Saya senang membaca coretan Prof Hamdan Juhannis yang diberi judul “Jalan Tengah”.

Tulisan yang viral di media sosial ini dimaknai oleh penulisnya sendiri sangat beragam. Beliau, memaknai jalan tengah sebagai jalan keberagamaan menuju keselamatan jiwa, kedamaian pikir, ketenteraman hati, dan keteraturan laku.

Dimaknai juga sebagai jalan keselamatan. Bahkan menurut beliau Jalan Tengah bisa menjadi ideologi sekaligus metodologi beragamaan.

Jalan Tengah beragama mengutamakan keteraturan rasio, Jalan Tengah adalah jati diri keberagamaan yang akan dituju.

Jalan tengah adalah kamus keberagamaan yang berisi kosa kata penghargaaan, penghormatan, ataupun pengakuan terhadap mereka yang berbeda. 

Mencermati judul dan makna jalan tengah seperti coretan Prof Hamdan, mengingatkan saya pada tiga hal, yang pertama penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang setiap tahun dilakukan oleh pemerintah demikian juga yang dilakukan oleh Muhammadiyah.

Yang kedua terkait dengan idiologi Pancasila diantara dua idiologi besar dunia yaitu komunisme dan kapitalisme. Yang ketiga terkait dengan filsafat pemikiran antara idealisme, realisme dan fleksibilitas. 

Yang pertama, Penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal seringkali sama, tetapi juga seringkali berbeda. Perbedaan itu terjadi disebabkan oleh perbedaan metode, ada yang menggunakan Metode Rukyatul Hilal dan ada yang menggunakan metode Hisab.

Rukyatul hilal adalah metode penetapan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan pengamatan. Sementara itu metode hisab cara perhitungan secara matematis dan astronomi untuk menentukan posisi bulan pada kelender Hijriah. 

Di masa orde baru, amat jarang terjadi perbedaan antara dua metode di atas, sejarawan menyebut hal itu disebabkan karena kuatnya pengaruh Presiden Soeharto ketika itu agar persatuan tetap terjaga. Setelah pak Harto lengser dari kekuasaan digantikan oleh rezim reformasi, perbedaan itu pun semakin nampak, ada yang memilih metode pengamatan dan ada pula mengikuti metode perhitungan. Perbedaan ini, pernah docoba oleh Jusuf Kalla (JK) ketika menjadi Wakil Presiden pertama atau dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY). 

J K, seperti lasim disebut sebagai juru damai mencoba untuk mempertemukan dua metode ini melalui “jalan Tengah”.

Kalau tahun ini menggunakan metode pengamatan maka tahun berikutnya menggunakan metode perhitungan.

Jalan tengah ini nampaknya kurang mendapat sambutan bahkan disebut-sebut gagal, tidak seperti dimasa pak Harto yang menggunakan metode tekanan kekuasaan.

Terkait dengan jalan tengah yang dilaksanakan oleh JK memang menemui hambatan, dan mungkin inilah yang dimaksud oleh Prof Hamdan bahwa Jalan Tengah sering menjadi sangat panjang untuk dijalani karena beragamnya tantangan yang harus dilalui.

Namun Jalan Tengah menurut beliau harus dijalani, diarungi, diperjuangkan kehadirannya sebagai jalan hidup. Karena bila tidak, kita hanya akan berada di "simpang jalan" Keberagamaan.

Jalan tengah berikutnya terkait dengan Pancasila diantara idiologi Komunisme dan idiologi kapitalisme. Dalam beberapa literatur yang membahas masalah ini dan amat sering kita mendengar pemikiran para ahli bahwa Pancasila yang dibangun oleh Bung Karno tidak lain adalah upaya untuk membangun idiologi diantara dua idiologi besar, oleh sebab itu Pancasila menurut Prof. Anwar Arifin sering disebut sebagai idiologi jalan tengah, bukan jalannya idiologi komunis yang anti agama dan bukan pula idiologi kapitalisme yang berbasis pada individualistik.

Almarhum Alfian peneliti senior LIPI dalam bukunya Pemikiran Politik Indonesia menyebut bahwa Pancasila bisa eksis di persada Nusantara jika memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi idealisme, dimensi realisme dan dimensi fleksibilitas.

Pancasila bisa langgeng kalau idiologi ini di dalamnya ada nilai-nilai kebenaran, dan nilai-nilai kebenaran ini realistis adanya, artinya idiologi ini bisa diterapkan dan diimplentasikan dalam hidup, bukan mimpi dan bukan pula fantasi.

Bahwa Pancasila itu, kapan dan dimanapun juga serta situasi apapun bisa hadir dan memberi kesejahteraan bagi penganutnya.

Yang terakhir disebut inilah yang masuk pada dimensi fleksibilitas dan ingin saya sebut dimensi ini sebagai jalan tengah, bahwa sebuah idiologi jika ingin eksis harus fleksibel dan itu hanya bisa dilakukan melalui adaptasi dan adaptasi inilah bisa disebut sebagai jalan tengah.

Mungkin yang terakhir disebut inilah dimaksudkan oleh Prof Hamdan bahwa Jalan Tengah bisa menjadi ideologi sekaligus metodologi beragamaan.

 Kita berharap, mudah-mudahan jalan yang kita tempuh selama ini selalu berada di jalan yang benar, Jalan Tengah yang menurut Prof. Hamdan mengutamakan keteraturan rasio, berisi kosa kata penghargaaan, penghormatan, ataupun pengakuan terhadap mereka yang berbeda. Salamakki Prof, sehat dan sukses selalu.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved