Opini
Iklan
Mereka berhamburan di papan-papan Medsos, barangkali mereka berasumsi bahwa iklan politik itu perlu, lantas berharap kita butuh.
Sebab siapa yang bisa menjamin kalimat-kalimat yang menyertainya adalah sesuatu yang akan dibumikan?
Pilkada dan Pemilu sambung menyambung menjadi satu—barangkali bisa diletakkan sebagai saksi pokok betapa iklan-iklan politik itu rutin memukau—bergurau sebagai pajangan belaka.
Iklan-iklan itu tak bergerak sebagaimana janjinya.
Dalam hukum perdagangan politik, iklan adalah sebuah pencitraan. Pencitraan dalam politik adalah investasi. Ia wajib dan tak murah.
Tetapi, dalam politik pula pencitraan tak pernah identik dengan kenyataan. Walau begitu, politik tetap memukau.
Iklan-iklan politik memang memukau dan menjangkau segala ruang.
Ketika iklan-iklan itu tak bergerak menjadi kenyataan, kita lantas bergumam; “pembohong”. Kita lupa bahwa kebohongan dalam politik dianggap taktik.
Ia sebuah kelaziman. Lalu saat iklan politik tak pernah berlari sebagai realisasi, kita lantas bergerutu; “dusta”.
Kita lupa bahwa dusta dalam politik dianggap sebagai siklus, ia tak ubahnya musim yang terus berputar.
Ia selalu diterima orang ramai dimasanya, dimusimnya—seperti halnya musim buah mangga atau musim buah durian.
Karena itulah, dusta dalam politik senantiasa diterima dan dimaklumi.
Lantas, pada siapa iklan-iklan itu sebenarnya berbicara? Entahlah.
Tetapi mustahil iklan-iklan itu berbicara pada Tuhan, sebab Tuhan begitu benci pada kebohongan dan dusta durjana.(*)
