Opini
Iklan
Mereka berhamburan di papan-papan Medsos, barangkali mereka berasumsi bahwa iklan politik itu perlu, lantas berharap kita butuh.
Oleh:
Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel,
Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Pada siapa sebenaranya iklan berbicara?
Kita tak tahu. Apakah ia berbicara pada manusia atau kendaraan yang melintas dihadapannya?
Apakah ia bercerita pada orang-orang yang menontonnya? Apakah ia bercakap dengan orang-orang yang mendengarnya?
Entahlah. Yang jelas, mustahil iklan berbicara pada Tuhan, sebab Tuhan begitu benci pada kebohongan.
Hidup kita tak pernah sepi dengan iklan. Benih dalam kandungan seolah dirangsang dengan iklan untuk perawatan janin.
Ketika lahir, puluhan iklan menyambutnya. Ada iklan dot, iklan minyak gosok khusus bayi, iklan boneka, iklan pakaian dan selimut, iklan bedak, hingga iklan susu.
Bayi-bayi kita lantas tak akrab dengan tetek ibunya—barangkali salah satunya juga karena iklan.
Saat menjadi anak-anak, iklan menyerbu lagi. Mainan anak-anak hingga busananya selalu disuguhkan.
Dan ketika tumbuh beranjak remaja, iklan kian gencar menyerang. Iklan fashion dan gaya hidup tak kunjung redup.
Iklan bedak, gincu, sabun mandi, parfum, potongan rambut, merek baju/celana, hingga softeks selalu menyertai. Dan ketika dewasa (khususnya perempuan), semua itu tak cukup.
Jejeran iklan pemutih, iklan alis, iklan lensa mata hingga iklan bulu mata tak membiarkan mata berkedip menyimak iklannya. Barangkali besok, iklan bulu hidung pun mulai dijajakan.
Negeri ini tak pernah sepi iklan. Saat wabah Covid 19 berkecamuk, iklan tetaplah mengamuk.
Ia hadir dimana-mana. Di media massa, di jejaring Medsos (termasuk WA), hingga di sepanjang jalan. Entah itu jalan raya, entah itu jalan sepi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/abdul-karim-majelis-demokrasi-humaniora.jpg)