Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Frasa Pidana Mati Ancam Hak Hidup

Tidak mengenal kompromi, harus tegas siapa pun yang melanggar harus diberi sanksi sesuai yang tertera dalam hukum demi mewujudkan kepastian hukum.

Editor: Hasriyani Latif
dok pribadi
Fadli Andi Natsif dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar 

Sanksi pidana mati sangat bertentangan dengan makna Pasal 28 I UUD NRI 1945, yang menghendaki bahwa hak hidup harus dihormati karena bagian dari non derogable rights sehingga tidak boleh lagi diatur tetapi harus dihormati (to respect).

Masih adanya jenis pidana mati berarti menyimpang dari makna hak hidup sebagai bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Selain argumen konstitusional berdasarkan UUD NRI 1945, juga yang menjadi alasan sehingga Indonesia harus menghapus pidana mati karena pemerintah Indonesia sudah meratifikasi instrumen internasional Covenant on Cipil and Political Rights 1966 (ICCPR) atau Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Dalam buku Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi (Penerbit Buku Kompas, 2009), sangat rinci menguraikan isi Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menghendaki negara peserta peratifikasi kovenan sudah seharusnya menghapus pidana mati dalam negaranya.

Diuraikan dalam Pasal 6 ayat (6) ICCPR, bahwa: Tidak ada ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pihak dalam konvensi.

Kemudian bunyi pasal ini dipertegas lagi dalam konsideran Second Optional Protocol, bahwa Pasal 6 Kovenan ditujukan pada penghapusan hukuman mati dalam pengertian yang sangat jelas menghendaki agar terwujud penghapusan hukuman mati. (hal. 49 -50).

Penghapusan pidana (hukuman) mati juga sebagai implementasi adigium yang sudah diuraikan di atas, “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah“.

Menjadi persoalan ketika masih mencantumkan pidana mati dan hakim menerapkan sanksi itu pada orang yang sebenarnya tidak bersalah.

Tetapi di kemudian hari ada bukti yang kuat bahwa terpidana mati itu bukan pelakunya, sehingga berakibat fatal terhadap putusan pidana mati yang bersifat irreversibel.

Artinya orang yang telah dipidana mati tidak dapat dihidupkan kembali walau pun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.

Kemungkinan adanya akibat putusan yang fatal karena dicantumkannya pidana mati dalam sebuah aturan menjadi alasan kuat agar tidak mencantumkan lagi frasa pidana mati dalam rumusan ketentuan pidana baik dalam KUHP mau pun dalam UU lain.

Frasa pidana mati sangat bertentangan dengan hak hidup, hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, seperti bunyi Pasal 28 I UUD NRI 1945.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved