Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Frasa Pidana Mati Ancam Hak Hidup

Tidak mengenal kompromi, harus tegas siapa pun yang melanggar harus diberi sanksi sesuai yang tertera dalam hukum demi mewujudkan kepastian hukum.

Editor: Hasriyani Latif
dok pribadi
Fadli Andi Natsif dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar 

Oleh:

Fadli Andi Natsif
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Masih sering kita dengar berita terkait kasus pembunuhan terutama yang direncanakan, yang pelakunya diancam pidana mati.

Berita di TribunPalopo.Com (28/9/2022), seorang suami membunuh istrinya secara berencana dikenakan Pasal 340 KUHP, yang ancamannya pidana mati atau pidana seumur hidup.

Termasuk berita yang trendi saat ini, istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi juga ditetapkan tersangka pelaku pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, yang juga tercancam hukuman mati. (Tribun-Timur.Com, 19/8/2022).

Lex dura sed tamen scripta. Hukum memang kejam karena begitu lah bunyinya. Adigium ini dapat dimaknai apa pun yang sudah tertulis dalam hukum harus ditegakkan.

Hukum tidak boleh berpihak. Tidak mengenal kompromi, harus tegas siapa pun yang melanggar harus diberi sanksi sesuai yang tertera dalam hukum demi mewujudkan kepastian hukum.

Makna hukum yang tegas inilah sehingga watak hukum dianggap kejam sesuai bunyi adigium di atas.

Oleh karenanya dalam pelaksanaan hukum, kalangan aparat penegak hukum (APH) harus hati-hati menjalankan fungsinya.

Terutama APH yang berada di akhir proses hukum untuk mendapatkan keadilan (hakim di pengadilan) harus hati-hati memutuskan. Ada adagium juga yang harus menjadi pegangan hakim, “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Prinsip kehati-hatian dalam memutuskan, jangan sampai terjadi error in persona (salah akan orang), sehingga terjadi peradilan sesat.

Sekedar menyebut contoh terjadinya peradilan sesat. Kasus fenomenal sekitar Oktober 1977, dikenal peradilan Sengkon dan Karta. Setelah diputuskan bersalah melakukan pembunuhan dan menjalani hukumannya.

Kemudian Oktober 1980 baru terungkap bahwa pelaku pembunuhan sebenarnya bukan Sengkon dan Karta tetapi orang lain keponakannya sendiri bernama Genul. Akhirnya Januari 1981 berdasarkan putusan MA Sengkon dan Karta dibebaskan dari perjara.

Narasi peradilan Sengkon dan Karta yang fenomenal di zamannya sebagai bukti terkadang lemahnya integritas dan profesional APH dalam sistem peradilan pidana kita. Relevan dengan fokus opini singkat ini, menjadi salah satu argumen mengapa jenis pidana mati harus ditiadakan dalam setiap produk hukum yang akan dibuat.

Termasuk dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang sementara digodok sekarang. Meskipun dengan alasan pidana mati dalam RKUHP sudah bukan lagi stelsel pidana pokok tetapi hanya pidana khusus atau alternatif.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved