Opini Tribun Timur
Literasi Kaum Santri
Dalam teori tersebut dijelaskan, benar tidaknya sebuah informasi yang beredar di masyarakat sangat bergantung pada tingkat kebisingannya.
Oleh Hery
Pustakawan / Ketua Umum PP IMDI
TRIBUN-TIMUR.COM - Di awal opini ini, penulis tiba-tiba teringat dengan teori yang pernah disampaikan oleh Jean Baudrillard tentang hyper-relitas.
Dalam teori tersebut dijelaskan, benar tidaknya sebuah informasi yang beredar di masyarakat sangat bergantung pada tingkat kebisingannya.
Semakin bising informasi itu dibincangkan, maka akan semakin berpotensi diklaim sebagai sebuah kebenaran.
Sebaliknya, semakin senyap informasi itu dibicarakan, maka akan sangat mungkin dianggap sebagai sebuah ketidakbenaran. Tak peduli fakta dan data yang tersirat di belakangnya.
Dalam bahasa sederhana, teori hyper-realitas mengamini bahwa kebenaran adalah hasil dari kebohongan yang disiarkan berulang-ulang.
Di era digitalisasi saat ini, kian hari, kian banyak spesies manusia yang terjangkit virus hyper-realitas tersebut.
Pikirannya buntu dalam membedakan antara fantasi dan fakta. Akibatnya, hoax pun merajalela dimana-mana dan sangat massif penyebarannya.
Di dunia nyata, informasi bohong dengan mudahnya diterima dari bibir satu ke bibir yang lainnya. Di sosial media, bertumpuk sejuta informasi provokatif yang berkali-kali dishare dari beranda satu ke beranda lainnya.
Dalam konteks ini, konten yang sering kali dijadikan sebagai alat untuk memprovokasi masyarakat adalah agama.
Kenapa ? karena agama memiliki unsur kedekatan dan keintiman dalam diri setiap manusia. Sehingga, sangat menarik perhatian publik dalam mengonsumsinya.
Ruang inilah yang dimanfaatkan oleh oknum penganut agama dalam menyampaikan gagasan ekstrem dan radikalnya.
Ironisnya, gagasan ekstrem dalam beragama semacam itu cenderung disambut baik oleh sejumlah kalangan masyarakat, khsusunya kalangan Islam, yang notabene adalah penganut agama terbanyak di Indonesia.
Hal itu dibuktikan dengan massifnya penyebaran konten video provokatif dari tokoh yang mengatasnamakan dirinya ustad.
Konten tersebut tersebar di ruang-ruang maya berbekal ratusan ribu bahkan jutaan pengikut dan subscriber.
Menariknya, isi kontennya seringkali menjual kalimat amar ma’ruf, nahi mungkar (menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran) dalam rangka memberi legitimasi terhadap gerakan ekstrem yang dilakukan.
Di lain sisi, ketegasan para sahabat seperti Umar ibn Khattab dan Khalid bin Walid juga tak jarang diatasnamakan dan disalahmaknakan, dalam rangka memberi pembenaran terhadap segala tindak kekerasan yang dipertontonkan.
Padahal, semua itu hanyalah kedok untuk menyembunyikan kebejatan dan kebobrokan.
Kata Gus Dur, “Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapapun yang melawan akan dituduh melawan Islam”.
Memang, beberapa di antara mereka telah diringkus dan diamankan oleh pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatnnya.
Namun, tentu saja oknum-oknum tersebut memiliki kader dan simpatisan setia yang secara diam-diam mungkin akan melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh tuannya.
Kita mungkin mudah membatasi ruang gerak seseorang, tapi sulit dengan ide dan pemikiran liarnya.
Peran Santri
Di tengah kondisi ironis tersebut, kaum yang diharapkan hadir sebagai pahlawan adalah para santri.
Sebab, sedikit banyak merekalah yang faham dengan esensi ajaran Islam yang sesungguhnya, berbekal pengajian kitab rutin yang didapatkan bertahun-tahun di pesantren.
Apalagi, diajarkan langsung oleh kiai yang tidak diragukan lagi kualitas ilmu dan sanadnya.
Itulah sebabnya, kaum santri mesti hadir menggalang gerakan, dengan turut serta mengisi ruang maya melalui konten-konten agama yang ramah dan damai.
Konten Islam rahmatan lil alamain di ruang maya, mesti lebih bising dibincangkan dibanding cacian dan makian yang mengatasnamakan Islam.
Baik itu di Facebook, Youtube, WhatsApp, Instagram, Twitter dan lainnya. Sudah saatnya, para santri menyebarkan pemahaman keagamaan melalui ruang-ruang maya tersebut.
Jika tidak, cepat atau lambat, ruang-ruang itu akan dikuasai oleh oknum-oknum penganut agama, yang notabene dangkal dalam hal pemahaman.
Selain itu, kaum santri juga mesti mulai memassifkan gerakan melalui pengisian konten di situs-situs resmi dan terpercaya, dengan menulis artikel atau opini yang berkaitan tentang Islam rahmatan lil alamain.
Apalagi, berbagai situs resmi telah membuka diri untuk itu. Salah stau yang perlu diapresiasi adalah kolaborasi antara Perpustakaan Nasional dan Kementerian Agama RI yang menghadirkan Laman Kepustakaan Keagamaan.
Laman tersebut menyediakan berbagai informasi tentang keagamaan. Di antaranya buku, artikel, daftar literatur, bahan pengajaran dan konten-konten digital lainnya terkait seluruh agama yang ada di Indonesia.
Di sisi lain, melalui portal tersebut, para pemeluk agama nantinya diberi ruang untuk mengisi konten pembelajaran sesuai agama masing-masing. Nah, laman ini seyogyanya menjadi perhatian kaum santri.
Begitu banyak ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan oleh kaum santri dalam rangka menebar ajaran agama yang maslahat dan mengenyahkan segala tipu muslihat. Sisa komitmen dan konsistensi yang perlu segera ditata sebaik mungkin dalam diri.
Mari menggalang gerakan sejak dini, wahai kaum santri !!!
Bukankah sekuat-kuat iman seorang hamba adalah yang mencegah kemungkaran dengan tangannya (gerakan nyata) ?
Selamat menyambut kesemarakan momentum Hari Santri !!!
