Opini
Magnet 'Uang Setan' dan Dampaknya
Itulah wajah demokrasi kita, benar-benar tantangan diperhadapkan praktek politik uang, bagai sekam, bara dalam genggaman.
Dan akhirnya kebijakan yang lahir dari pengambil keputusan hasil praktik politik uang, justeru akan berorientasi pada kepentingan pribadi memperkaya diri, kelompok, dan golongan tertentu.
Sedangkan rakyat tetap dengan cangkulnya, keranjang dagangnya, mengayuh becak, gerah dan lusuh dalam selimut kemiskinan.
Karenanya, politik uang membuat hak rakyat tergadaikan, kritik dan usulan yang mereka dorong pada pemangku kebijakan untuk diperjuangkan sejahtera, semakin tak berdaya, norma sosial dan integritasnya terdegradasi.
Jika kembali bicara demokrasi dalam konteks negara baru berkambang ini, dampak politik uang begitu nyata terhadap akuntabilitas lembaga-lembaga demokrasi dan civil society atas representasi kebijakan.
Secara konprehensif, bicara soal dinamika jual beli suara dari pemilu ke pemilu, membanding dalam konteks Orba dan demokrasi kini dengan mengeksplorasi karakteristik, entitas, intensitas dan efek elektoral politik uang dalam riset Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 sampe sekarang, cukup mengkhawatirkan.
Studi kasus dalam IKP itu berbicara politik uang menunjukkan kisaran 10 persen, mengingat jumlah pemilih loyalis masih kecil. Insentif (sumbangan) material itu secara absolut jatuh ke tangan para pemilih yang rendah pemahaman.
Maka ini menunjukkan walau kisaran 10 persen, namun dalam konteks proporsional terbuka, efek dari 10 persen itu sangatlah besar, lebih dari cukup bagi banyak calon mendapatkan kemenangan dengan cara-cara yang dilarang oleh konstitusi.
Inilah yang menjelaskan mengapa politisi begitu antusias mengejar kemenangan dengan praktek culas politik uang.
Riset diatas menggambarkan, selain pendidikan politik dan pemahaman demokrasi yang sempit di level bawah, dan rendahnya pengetahuan masyarakat akan dampak kebijakan-kebijakan hasil praktek politik uang pasca kemenangan para aktor. Maka salah satu kerawanan dalam pemilu mendatang masih dalam lingkaran "uang setan".
Semua itu patut secara sadar, tantangan kedepan menjadi tanggung jawab kita semua mencerdaskan rakyat dalam praktek politik akal sehat menolak politik uang.
Sehingga posisi tawar rakyat semakin kuat dan berdaulat, tak tergadaikan dan pupus atas janji calon pemimpin yang pernah disuarakan.
Olehnya pendidikan politik berbasis partisipatif selalu didorong sebagai instrumen pencerdasan. Cara ini bisa dimulai dari pelosok kampung dan lorong-lorong kota.
Sebab disanalah sulit membedakan hasrat warga, antara kebutuhan dan kesempatan dalam kesesatan politik uang.
Sudah sepatutnya proses pencerdasan itu dimulai dari sekarang, agar prilaku-prilaku elit tidak lagi menjadikan warga sebagai objek kepentingan semata.
Mustinya dimana pun ruang dan strata sosial rakyat, para tokoh politik dan lokal sebaiknya bercengkrama duduk disana sembari menikmati kopi.