Opini
Magnet 'Uang Setan' dan Dampaknya
Itulah wajah demokrasi kita, benar-benar tantangan diperhadapkan praktek politik uang, bagai sekam, bara dalam genggaman.
Pada dasarnya, pemimpin-pemimpin yang lahir dari sentuhan tangan suci tadi, penuh harap dan optimis pada mereka yang kini duduk ditampuk kursi kuasa. Mereka yakin dari hasil proses politik disetiap momentum Pemilu ialah yang terbaik.
Kendati produk-produk kebijakan yang ada ditangan pemangkunya kadang "melempem" tidak tepat sasaran, walau kedaulatan terbesar sebagai kontrol sosial ada di tangan rakyat.
Yang ajaib, rakyat pula seringkali lupa, bahkan mungkin abai dengan kekuatan yang dimilikinya lalu tak mau ambil pusing karena malu telah dinodai "uang setan", sebut saja begitu.
Sehingga tangan-tangan lugu nun jauh dari pelosok sana telah dikotori oleh praktek politik uang. Nalarnya tergadai, powernya melemah, hingga suaranya tak lagi nyaring menenteng aspirasi.
Kritiknya tergerus atas kuasa uang yang menyimpang dari amanah politik nan agung (pancasila).
Itulah wajah demokrasi kita, benar-benar tantangan diperhadapkan praktek politik uang, bagai sekam, bara dalam genggaman.
Bakal membakar diri sendiri dengan penegakan hukum kepemiluan, bahwa praktek itu mampu menghantarkan seseorang dalam "terungku" memilukan.
Pandangan ini jelas, aturan larangan tentang politik uang termaktub dalam Undang-undang Pemilu No. 7 tahun 2017 dan Undang-Undang Pilkada No. 10 tahun 2016 beserta perangkat regulasi turunannnya, bahwa yang memberi dan menerima sama-sama dipidana satu sampai tiga tahun, itu.
Dalam konteks Pemilu, Parpol adalah elemen paling dekat dengan warga (konstituen) yang harus berperan aktif saling mengedukasi publik dalam pendidikan politik. Demikian halnya para tokoh agama dan budayawan mesti hadir sebagai corong kontrol sosial.
Hal vital lainnya, kemungkinan penyelenggara pemilu bisa menjadi sasaran dalam pengaruh magnet pusaran politik uang. Sehinga tak jarang praktik itu mencederai nama baik lembaga.
Mengapa potensi itu ada, boleh jadi (oknum) ia enggan dan berat hati keluar dari pusaran, lalu tak sadar menjelma sebagai 'setan' dalam wujud manusia, ikut menodai kesucian nilai-nilai demokrasi, agama dan budaya sampai ke kampung-kampung.
Dari semua objektivitas dan subyekyektifitas diatas tentang politik uang, memang perlu bertahap merubah paradigma masyarakat bahwa itu bukanlah prilaku wajar berkebudayaan.
Perlu dipahami, politik uang yang dilakukan secara terus menerus merupakan warisan kekeliruan, bukan kebudayaan, karena sejatinya kebudayaan berangkat dari nilai luhur nan agung yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan.
Sementara politik uang adalah praktik 'haram' yang bertentangan dengan Undang-Undang dan agama. Lalu bagaimana mungkin "uang setan" itu bisa disebut kebudayaan.
Karena sesungguhnya praktik politik uang menyebabkan disorientasi nilai, akan berimplementasi pada buruknya pelayanan publik dan sikap acuh pemangku kebijakan kepada rakyat sampai ke level bawah.