Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Kudeta Merangkak MK

Dengan dasar hukum apa sesungguhnya, lembaga DPR bisa mengakhiri masa jabatan hakim yang pernah diusulkannya.

Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM
Alumni PPs Hukum UMI Damang Averroes Al-Khawarizmi. Damang Averroes adalah penulis rubrik Opini Tribun Timur berjudul Kudeta Merangkak MK. 

Dengan keadaan-keadaan tertentu, masa jabatan hakim digantungkan pada sikap subjektif DPR, hendak mengakhiri atau tetap melakukan perpanjangan.

Termasuk dalam hal ini, melakukan penggantian hakim MK berdasarkan sikap subjektifnya, karena tanpa lagi melalui proses seleksi, atas syarat dan tata cara pengisian jabatan hakim MK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UU MK.

Tafsir Tepat

Namun terlepas dari itu semua, atas sikap DPR yang seolah-olah sengaja mengaburkan makna pertimbangan tersebut.

Saya kira soal bagaimana cara kita menyikapinya, harus dikembalikan dalam kerangka hukum putusan MK dengan mendahulukan pendapat mayoritas.

Daripada pendapat hakim MK yang minoritas, sebagaimana dissenting opinion-nya Hakim MK atas nama Manahan dan Arief Hidayat yang juga terdapat dalam putusan itu.

Hal yang pasti, pengujian materiil atas Pasal 87 huruf b UU No. 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi, perihal masa jabatan hakim MK tidak lagi berdasarkan periodisasi lima tahun, tetapi didasarkan pada usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak boleh melebihi 15 (Iima belas) tahun.

Ingat, amar putusan untuk itu tidak mengabulkan permohonan pemohon. Artinya kalau tidak dikabulkan, maka tidak ada keadaan hukum baru yang bisa diletakkan sebagai kewenangan baru bagi DPR atau sebagai kebijakan hukum terbuka, dengan tiba-tiba setiap hakim MK bisa dievaluasi masa jabatannya oleh lembaga pengusulnya.

Berbeda misalnya, dengan pengujian materiil Pasal 87 huruf a yang dikabulkan oleh MK. Sehingga berkonsekuensi harus ada perubahan struktur jabatan ketua dan wakil ketua MK. Yang harus berakhir sembilan bulan sejak dibacakannya putusan tersebut.

Mereka yang tetap kukuh pada pendiriannya, bahwa masa jabatan hakim MK sewaktu-waktu bisa dievaluasi.

Termasuk dalam hal ini, RUU MK yang kemarin sempat menjadi bahagian dari hasil rapat komisi III DPR, dengan memuat rancangan kaidah yang senada dengan itu.

Kian hari menunjukkan, memang tidak ada keseriusan dari wakil-wakil rakyat kita di Senayan untuk menciptakan peradilan yang bebas dan merdeka.

Tanpa lagi ada ketergantungan balas jasa, atas hakim MK yang harus dan selalu melalui “lobi-lobi” fraksi partai.

Sekarang, bola liarnya ada di tangan Presiden Jokowi. Jika Presiden menindaklanjuti hasil rapat paripurna DPR dengan menerbitkan keputusan pengangkatan Prof. Dr. Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi.

Inilah sejarah pertama kalinya terjadi, seorang bisa mengkudeta jabatan hakim MK, karena ia terpilih tanpa melalui syarat dan mekanisme yang sejalan dengan UU MK dan UUD NRI 1945.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved