Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Kudeta Merangkak MK

Dengan dasar hukum apa sesungguhnya, lembaga DPR bisa mengakhiri masa jabatan hakim yang pernah diusulkannya.

Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM
Alumni PPs Hukum UMI Damang Averroes Al-Khawarizmi. Damang Averroes adalah penulis rubrik Opini Tribun Timur berjudul Kudeta Merangkak MK. 

Oleh Damang Averroes Al-Khawarizmi
Alumni PPs Hukum UMI

TRIBUN-TIMUR.COM - Pemberitaannya tidak begitu ramai di berbagai media cetak dan media elektronik.

Saya menggunakan istilah “tidak begitu ramai” bukan senyap dari pemberitaan, karena masih ada sebagian kecil media yang meliputnya. Sekalipun tidak menempatkannya di halaman utama atau halaman editorial, sebuah media nasional.

Padahal, keputusan rapat paripurna ke-7 DPR itu yang mengakhiri masa jabatan hakim MK Prof Dr. Aswanto, kemudian menggantikannya dengan Prof. Dr. Guntur Hamzah.

Dapat dikata “sama seksinya” dengan kasus suap hakim MA, Sudrajad Dimyati. Meski beda aktor perusaknya, tidakkah kedua-duanya telah “merobohkan” dua jenis kekuasaan kehakiman tertinggi yang sama-sama tersebut nama sakralnya dalam UUD NRI 1945.

Pertimbangan Bias

Sebenarnya, cukup dan amat sederhana mengorek kasus penggantian hakim MK, Prof. Dr. Aswanto di tengah jalan, kendati masa jabatannya belum berakhir baik dengan kita menggunakan konstruksi UU MK yang lama (UU No. 24/2003), apalagi dengan UU MK yang baru (UU No. 7/2020).

Yaitu dengan dasar hukum apa sesungguhnya, lembaga DPR bisa mengakhiri masa jabatan hakim yang pernah diusulkannya.

Kemudian pada saat yang sama, mendorong hakim MK pengganti tanpa melalui proses seleksi, dan tanpa melalui fit and proper test pula. Cukup dengan rapat internal, ala sim salabim, tiba-tiba kita semua rakyat Indonesia, di-prank oleh wakil-wakil kita di sana, di Senayan.

Nyatanya, keputusan DPR tersebut mengacu pada surat Nomor: 3010/KP.10/07/2022 tentang Pemberitahuan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020, yang dikirim oleh MK dan ditandatangani oleh ketua MK atas nama Anwar Usman. Dengan ditujukan kepada ketua DPR RI, di Jakarta.

Tafsir atas penggantian hakim MK, kemudian oleh DPR menggunakan pertimbangan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tersebut di atas.

Sebagaimana terdapat dalam butir 3.22 yang menyatakan: “…bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung)….”

Dimana bias-nya putusan MK tersebut? Yaitu pada kalimat yang menyatakan: “…menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya….” Kalimat ini bisa berada dalam dua pemaknaan.

Pertama, hanya melahirkan kewajiban hukum bagi MK untuk menyampaikan nama-nama hakim MK yang akan berakhir masa jabatannya baik secara periodik maupun karena digantungkan berdasarkan umur.

Kedua, penyampaian nama-nama hakim MK tersebut ke DPR, melahirkan kewenangan baru kepada DPR untuk mengevaluasi hakim MK yang pernah diusulkannya.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Konsisten

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved