Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Abdul Karim

Berkah

Sebelum medsos menjamur, kata "berkah" hanya dijumpai di ruang-ruang tertentu dengan waktu yang terbatas.

zoom-inlihat foto Berkah
abdul karim
Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora

Oleh: Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Sebelum medsos menjamur, kata "berkah" hanya dijumpai di ruang-ruang tertentu dengan waktu yang terbatas.

Di langgar, di surau, dimasjid, di musallah, digereja, dan tempat-tempat ibadah lainnya disanalah "berkah" seringkali melantun.

"Berkah" didakwahkan, diceramahkan dan tentu saja sebagai penyemangat ummat. Di sini begitu terang "berkah" sebagai terma relegius.

Di pondok-pondok pesantren pun berkah telah lama menjadi trend dan istilah relegius.

Santri-santri yang mondok, seringkali menyebut kata ini.

"Berkahnya" Gurutta (berkah sang ulama), sependek itu sering terucap di bibir santri.

Begitupun ketika penduduk tiba-tiba menyambangi kyai/ulama di pondok pesantren--tak jauh-jauh untuk mengejar berkah dari ulama. Dalam kultur Bugis-Makassar, itu disebut "barakka".

Kini, saat Medsos merebak, "berkah" pun menyerbak. Epistemologi berkah kini pun melebar seiring meluasnya media interaksi-komunikasi modern manusia.

Baca juga: Mengapa Revisi UU P3?

Baca juga: Narasi Kebudayaan Arkeo-Astronomi Bumi Massenrempulu

Ruang "berkah" tak lagi dimonopoli oleh tempat-tempat ibadah atau pondok pesantren.

Dan barangkali, kini "berkah" bukan hanya semata "otoritas" kyai/ulama atau tokoh agama lainnya, sebab kelihatan dengan terang, didunia sosial nyata, orang-orang dengan segala latar belakang dan identitas dianggap sebagai "berkah", dan atau dianggap dapat memberkahi.

Kita tak usah heran lagi, ketika seorang Gubernur, bupati atau walikota dianggap memiliki berkah yang dengannya disebut bisa memberkahi ummat. Saat hadir di tengah rakyat, orang-orang berpacu meraih tangannya untuk berjabat. "Agar dapat berkah", kata sebagian orang.

Atau seorang politisi yang duduk di parlamen karena sukses menghambur "serangan fajar" datang di sebuah hajatan pesta pernikahan warga. Disana, ia dipuja-puja. Kedatangannya disambut hangat MC diujung Mic.

"Selamat datang, semoga kehadirannya di pesta pernikahan ini membawa berkah", kata sang MC.

Barangkali karena sang politisi aktif menjumpai ulama-ulama saat musim kampanye dan dihadapan ummat pemilih, ia mengaku mendapat "berkah" dari sang ulama, walaupun sang ulama tak sekalipun pernah menyebut telah memberkahi sang politisi.

Seorang wakil rakyat datang disebuah kampung untuk keperluan reses, disana ia berpidato dan berdialog dengan warga. Usai itu, ia bercengkrama dengan warga.

Dalam pencengkramaan itu, seorang kakek hendak pamit bersama seorang cucunya. Ia mengajak cucunya bersalaman dengan wakil rakyat itu, "berkahnya", katanya pada cucunya.

Seorang perantau sukses, datang ke kampung halamannya saat lebaran idul adha. Puluhan tahun ia merantau.

Di perantauan, konon ia bekerja sebagai agen tenaga kerja.

Beberapa kali ia berhubungan dengan masalah hukum gegara keterlibatannya dalam human trafficking.

Saat idul adha, ia membeli lima ekor lembu untuk kurban di kampung halamnnya.

Warga berdatangan, selain untuk mendapat daging mereka juga mengharap berkah. Berkah dari yang bersangkutan lantaran dianggap sukses di rantau.

Epistemologi "berkah" kini melebar seiring meluasnya media interaksi-komunikasi modern manusia. Dan menyebut kata itu tak perlu berlama-lama, sepanjang ada hal material yang tampak di pelupuk mata--maka jangan tunda menyebut kata "berkah". "Berkah" kini melintas dan dihinggapkan disegala profesi, ruang, dan kapasitas.

Tak perlu Anda berfikir pantas atau tidaknya, sebab kepantasan kini tak dibangun dari dunia kosong yang hampa. Ia diucap dari dunia nyata yang menampakkan sesuatu yang bersifat materil.

"Jabatan, pangkat dan harta" adalah pengundang kata "berkah" itu dan demikianlah yang dianggap pantas. Kata religius itu kini terasa berubah menjadi kalimat prestesius dan kita lantas terbius.

Tindakan Tegas

Dalam menopang pertumbuhan sektor perikanan, pemerintah harus terus melakukan upaya penegakan hukum.

Pemerintah hendaknya pula menindaklanjuti berbagai upaya penegakan hukum secara tegas.

Jika terbukti perusahaan perikanan dalam negeri bertindak nakal, dari sisi administrasi perikanan dan perpajakan, diupayakan penagihan dan pencabutan izin usaha.

Pada dasarnya, sektor perikanan, jika pengelolaannya baik dan benar, merupakan lahan potensial untuk pemasukan negara. Pertumbuhan produk domestik bruto sektor perikanan, misalnya, naik menjadi sekitar 8 persen.

Pertumbuhan tersebut diperkirakan akan lebih tinggi lagi.

Walaupun sektor perikanan menargetkan agar angka tersebut naik secara bertahap tiap tahun, pemerintah harus tetap pada prinsip menjaga kelestarian sumber daya alam laut.

Dengan begitu, potensi kelautan dan perikanan tetap terpelihara. Indonesia patut menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak utama pembangunan nasional. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved