Opini Dwi Rezki Hardianto
Mampukah Pancasila Paripurna?
Justru dari ketiga pilar itulah, Nasionalisme, Marxisme, Islam yang menjadi dasar Soekarno membangun tesis: Pancasila.
Seolah-olah Merdeka hanya menjadi bagian tertentu dan tidak menjadi bagian dari keseluruhan bagian. Itulah mer(d)eka. Inilah nasionalisme yang sakit, kata Pram.
Jika pangkal nasionalisme adalah persoalan perikemanusiaan. Lalu, bagaimana perikemanusiaan yang sebenarnya? Tentu pertanyaan ini membawa kita pada ruang pemaknaan yang berbeda-beda.
Sama dengan keadilan, demokrasi, hingga ketuhanan. Meskipun dipaparkan lebih jauh oleh Sokerano bahwa bentuknya demikian, tapi hal itu hanya sebagai penandaan yang tentu dapat bergeser dan terus bergeser. Artinya, citra-citra itu hanya menggiring kita berjalan memutar di dalam rantai penandaan dan seolah-olah nyata.
Selama simbolik (bahasa) menjadi mediator maka kita hanya berada di dunia yang seolah-olah.
Simbolik ibarat topeng menutupi ketidakkokohan diri kita.
Sama dengan pancasila yang terus-terusan dikondisikan dan dimaknai. Konsekuensinya, tentu sarat akan interpretasi yang dominan.
Sebagaimana kekuasaan menjadikannya slogan untuk menutupi segala lubang di dalam decknya.
Pancasila itu belum (benar-benar) paripurna, tapi dia “seolah-olah” paripurna karena terus dimaknai oleh kita semua.
Namun, apa konsekuensi ketidakparipurnaan itu? Tentunya pancasila dapat menjadi medan politik yang sangat demokratis.
Artinya, pancasila itu tidak hanya dimiliki oleh kekuasaan, tapi setiap dan semua orang mampu menjadikannya seolah-olah paripurna. (*)