Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Dwi Rezki Hardianto

Mampukah Pancasila Paripurna?

Justru dari ketiga pilar itulah, Nasionalisme, Marxisme, Islam yang menjadi dasar Soekarno membangun tesis: Pancasila.

DOK PRIBADI
Alumnus Magister Sastra FIB UGM, Dwi Rezki Hardianto SS MA 

Oleh: Dwi Rezki Hardianto, SS MA
Mantan Presiden BEM UNM, Alumnus Magister Sastra FIB UGM

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR-Indonesia ibarat kapal yang terombang-ambing di lautan lepas.

Ia selalu saja menghadapi badai besar yang membuatnya terus terguncang.

Badai itu tidak sekadar berasal dari luar, juga terjadi dari dalam dirinya sendiri.

Ketika terjadi kerusakan pada decknya, maka nahkoda akan memperbaikinya dengan banyak cara; apakah dengan memakai bahan seadanya di dalam kapal itu sendiri? Atau menunggu kapal lain untuk membeli atau meminjam bahan-bahannya.

Apa maksud dari pengandaian itu? Mari kita bertualang jauh di abad 20, yaitu ketika Indonesia diterpa oleh badai modernisme.

Badai itu membawa sebuah konsep, salah satunya adalah konsep bangsa-negara (nation-state). Bangsa dan negara adalah dua hal yang berbeda.

Bangsa ibarat jiwa dan negara ibarat tubuhnya. Menurut Soekarno dalam bukunya Nasionalisme, Islam, dan Marxisme (1970), bangsa adalah sebuah penyatuan sikap yang didorong oleh pengalaman historis.

Indonesia pada tahun 1920an menjadikannya sebagai ruang gerak untuk melawan kolonialisme eropa.

Tak hanya sampai disitu bahkan lebih jauh dijadikan sebagai nafas ideologi.

Tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari jeratan penjajahan yang pelik.

Maka, beberapa organisasi termasuk partai suku, ras, agama, dan lain sebagainya turut menjadikannya sebagai kendaraan.

Mulai dari Partai Sarikat Islam Indonesia, Boedi Oetomo, Partai Komunis Indonesia, Partai Tionghoa Indonesia, pemuda dari berbagai daerah bergegap gempita berjuang atas nama nation.

Namun, mungkin menjadi anomali, mengapa Partai Tionghoa Indonesia turut memperjuangkan kemerdekaan? Alasannya tidak terlepas pengalaman historis dari orang-orang Tionghoa yang juga mengalami eksploitasi yang keji dari orang-orang eropa khususnya Belanda.

Sensitivitas sejarah tersebutlah yang membuat hasrat untuk hidup dalam persatuan nasional meletup dalam dirinya masing-masing.

Hal ini sama dengan kaum badui di Arab ketika ingin merdeka. Sama dengan Marxisme dan Islam. Meskipun berbeda secara ideologis, tapi keduanya tidak bertentangan dalam nasionalisme.

Dalam pandangan Marxisme, nasionalisme adalah sebuah gerakan progresif revolusioner untuk mengubah tatanan masyarakat tanpa adanya eksplotasi atau penindasan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Lenin di Soviet, Mao Tse Tung di Cina, Ho Chi Min di Vietnam, dan masih banyak lagi.

Di islam kita akan menemukan gagasan pan-Islamisme dari Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Keduanya melihat adanya degradasi persatuan dalam islam itu sendiri.

Bukan masalah internal islamlah yang bermasalah melainkan adanya agresi pemikiran, bahkan fisik berupa perbudakan, eksploitasi, bahkan penindasan yang dilakukan oleh imprealisme eropa terhadap islam.

Maka, apabila islam ingin terbebas dari belenggu imprealisme eropa maka Islam harus bersatu dan menjalankan ajaran islam yang sejatinya dibawa oleh Rasulullah Saw.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Lybia, Suriah, Mesir dan beberapa negara Arab lainnya.

Justru dari ketiga pilar itulah, Nasionalisme, Marxisme, Islam yang menjadi dasar Soekarno membangun tesis: Pancasila.

Jembatan Emas

Tiga hari sebelum Pancasila dikukuhkan sebagai Philosofische grondslag.

Perdebatan-perdebatan mengenai dasar negara tidak memiliki ujung.

Mungkin saat itu, Soekarno hanya diam, menghayati sambil memegang cerutu dan meminum kopinya sambil menunggu kapan perdebatan itu memiliki ujung atau mencapai titik klimaksnya.

Bak pahlawan yang datang di titik akhir, dengan gagah-berani, meminta izin pada anggota BPUPKI untuk mengemukakan pandangannya. Peristiwa itu tepat pada 1 Juni 1945.

Indonesia merdeka ibarat jembatan emas untuk sampai ke tujuan. Dan, untuk sampai ke tujuan, maka dibutuhkan pijakan.

Sama dengan Nasional-sosialisme Jerman, Materialisme-historis Soviet, San Min Chu I a la doktor Sun Yat Sen.

Apabila San Min Chu I memiliki tiga prinsip rakyat, yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme, maka Pancasila memiliki lima prinsip, yaitu nasionalisme, peri-kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan, dan ketuhanan yang maha Esa.

Bekali-kali Soekarno berterima kasih pada doktor Sun Yat Sen atas idenya. Pancasila tentu menjadi sebuah filsafat, pikiran, jiwa, objek hasrat yang sedalam-dalamnya.

Dengan begitu, pancasila menjadi citra ideal kehidupan di atas jembatan emas pasca proklamasi.

Citra itu kemudian mengikat citra-citra lainnya: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dan, citra-citra itu tertuju pada citra-citra lainnya.

Seolah-olah” Paripurna

Sebuah tulisan berjudul “Berpancasila yang Paripurna” oleh Ute Nurul Akbar, terbit di koran Tribun Timur pada, 3/6/2022. Dalam tulisan itu dinarasikan “Pancasila kita sudah paripurna dan telah teruji sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang bhinneka”. Baiklah, mari kita mengujinya sekali lagi.

Sebelum pancasila menjahit kehidupan kita, mesti diakui bahwa persatuan itu benar-benar teruji, sebab dijahit oleh kekutan mistik nasionalisme.

Akan tetapi, ketika Indonesia telah merdeka, memiliki kedaulatan, memiliki hukum.

Justru di sinilah masalah itu muncul. Tubuh kita yang sifatnya alami, mesti dipolitisasi, dihitung, diatur dan bebas diekslusi oleh kekuasaan.

Penyatuan yang dipaparkan oleh Soekarno pada dasarnya menjahit semua perbedaan suku, daerah, agama, dan ideologi.

Namun, sejauh mana perbedaan itu dijahit? Soekarno sendiri geleng-geleng kepala dengan prinsip itu.

Buktinya ambivalensi national-state pun terlihat ketika PP 10/1959 diketuknya untuk memperjelas kewarganegaraan Tionghoa yang dianggap anomali, tujunnya adalah memperkuat kedaulatan negara.

Padahal dalam pidatonya sendiri, berkali-kali dirinya berterima kasih dengan Dr Sun Yat Sen, berkali-kali pula mengakui bangsa Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia di hadapan Lim Koen Hian.

Bahkan hingga rezim-rezim selanjutnya, ketika yang dianggap komunis, islamis radikal, syiah, tidak masuk dalam keenam agama legal, dan yang dianggap separatis di Papua, mesti diekskulsi atas nama pancasila.

Seolah-olah Merdeka hanya menjadi bagian tertentu dan tidak menjadi bagian dari keseluruhan bagian. Itulah mer(d)eka. Inilah nasionalisme yang sakit, kata Pram.

Jika pangkal nasionalisme adalah persoalan perikemanusiaan. Lalu, bagaimana perikemanusiaan yang sebenarnya? Tentu pertanyaan ini membawa kita pada ruang pemaknaan yang berbeda-beda.

Sama dengan keadilan, demokrasi, hingga ketuhanan. Meskipun dipaparkan lebih jauh oleh Sokerano bahwa bentuknya demikian, tapi hal itu hanya sebagai penandaan yang tentu dapat bergeser dan terus bergeser. Artinya, citra-citra itu hanya menggiring kita berjalan memutar di dalam rantai penandaan dan seolah-olah nyata.

Selama simbolik (bahasa) menjadi mediator maka kita hanya berada di dunia yang seolah-olah.

Simbolik ibarat topeng menutupi ketidakkokohan diri kita.

Sama dengan pancasila yang terus-terusan dikondisikan dan dimaknai. Konsekuensinya, tentu sarat akan interpretasi yang dominan.

Sebagaimana kekuasaan menjadikannya slogan untuk menutupi segala lubang di dalam decknya.

Pancasila itu belum (benar-benar) paripurna, tapi dia “seolah-olah” paripurna karena terus dimaknai oleh kita semua.

Namun, apa konsekuensi ketidakparipurnaan itu? Tentunya pancasila dapat menjadi medan politik yang sangat demokratis.

Artinya, pancasila itu tidak hanya dimiliki oleh kekuasaan, tapi setiap dan semua orang mampu menjadikannya seolah-olah paripurna. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved