Opini Dwi Rezki Hardianto
Mampukah Pancasila Paripurna?
Justru dari ketiga pilar itulah, Nasionalisme, Marxisme, Islam yang menjadi dasar Soekarno membangun tesis: Pancasila.
Hal ini sama dengan kaum badui di Arab ketika ingin merdeka. Sama dengan Marxisme dan Islam. Meskipun berbeda secara ideologis, tapi keduanya tidak bertentangan dalam nasionalisme.
Dalam pandangan Marxisme, nasionalisme adalah sebuah gerakan progresif revolusioner untuk mengubah tatanan masyarakat tanpa adanya eksplotasi atau penindasan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Lenin di Soviet, Mao Tse Tung di Cina, Ho Chi Min di Vietnam, dan masih banyak lagi.
Di islam kita akan menemukan gagasan pan-Islamisme dari Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Keduanya melihat adanya degradasi persatuan dalam islam itu sendiri.
Bukan masalah internal islamlah yang bermasalah melainkan adanya agresi pemikiran, bahkan fisik berupa perbudakan, eksploitasi, bahkan penindasan yang dilakukan oleh imprealisme eropa terhadap islam.
Maka, apabila islam ingin terbebas dari belenggu imprealisme eropa maka Islam harus bersatu dan menjalankan ajaran islam yang sejatinya dibawa oleh Rasulullah Saw.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Lybia, Suriah, Mesir dan beberapa negara Arab lainnya.
Justru dari ketiga pilar itulah, Nasionalisme, Marxisme, Islam yang menjadi dasar Soekarno membangun tesis: Pancasila.
Jembatan Emas
Tiga hari sebelum Pancasila dikukuhkan sebagai Philosofische grondslag.
Perdebatan-perdebatan mengenai dasar negara tidak memiliki ujung.
Mungkin saat itu, Soekarno hanya diam, menghayati sambil memegang cerutu dan meminum kopinya sambil menunggu kapan perdebatan itu memiliki ujung atau mencapai titik klimaksnya.
Bak pahlawan yang datang di titik akhir, dengan gagah-berani, meminta izin pada anggota BPUPKI untuk mengemukakan pandangannya. Peristiwa itu tepat pada 1 Juni 1945.
Indonesia merdeka ibarat jembatan emas untuk sampai ke tujuan. Dan, untuk sampai ke tujuan, maka dibutuhkan pijakan.