Opini Dwi Rezki Hardianto
Mampukah Pancasila Paripurna?
Justru dari ketiga pilar itulah, Nasionalisme, Marxisme, Islam yang menjadi dasar Soekarno membangun tesis: Pancasila.
Sama dengan Nasional-sosialisme Jerman, Materialisme-historis Soviet, San Min Chu I a la doktor Sun Yat Sen.
Apabila San Min Chu I memiliki tiga prinsip rakyat, yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme, maka Pancasila memiliki lima prinsip, yaitu nasionalisme, peri-kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan, dan ketuhanan yang maha Esa.
Bekali-kali Soekarno berterima kasih pada doktor Sun Yat Sen atas idenya. Pancasila tentu menjadi sebuah filsafat, pikiran, jiwa, objek hasrat yang sedalam-dalamnya.
Dengan begitu, pancasila menjadi citra ideal kehidupan di atas jembatan emas pasca proklamasi.
Citra itu kemudian mengikat citra-citra lainnya: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dan, citra-citra itu tertuju pada citra-citra lainnya.
“Seolah-olah” Paripurna
Sebuah tulisan berjudul “Berpancasila yang Paripurna” oleh Ute Nurul Akbar, terbit di koran Tribun Timur pada, 3/6/2022. Dalam tulisan itu dinarasikan “Pancasila kita sudah paripurna dan telah teruji sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang bhinneka”. Baiklah, mari kita mengujinya sekali lagi.
Sebelum pancasila menjahit kehidupan kita, mesti diakui bahwa persatuan itu benar-benar teruji, sebab dijahit oleh kekutan mistik nasionalisme.
Akan tetapi, ketika Indonesia telah merdeka, memiliki kedaulatan, memiliki hukum.
Justru di sinilah masalah itu muncul. Tubuh kita yang sifatnya alami, mesti dipolitisasi, dihitung, diatur dan bebas diekslusi oleh kekuasaan.
Penyatuan yang dipaparkan oleh Soekarno pada dasarnya menjahit semua perbedaan suku, daerah, agama, dan ideologi.
Namun, sejauh mana perbedaan itu dijahit? Soekarno sendiri geleng-geleng kepala dengan prinsip itu.
Buktinya ambivalensi national-state pun terlihat ketika PP 10/1959 diketuknya untuk memperjelas kewarganegaraan Tionghoa yang dianggap anomali, tujunnya adalah memperkuat kedaulatan negara.
Padahal dalam pidatonya sendiri, berkali-kali dirinya berterima kasih dengan Dr Sun Yat Sen, berkali-kali pula mengakui bangsa Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia di hadapan Lim Koen Hian.
Bahkan hingga rezim-rezim selanjutnya, ketika yang dianggap komunis, islamis radikal, syiah, tidak masuk dalam keenam agama legal, dan yang dianggap separatis di Papua, mesti diekskulsi atas nama pancasila.