Resonansi Tribun Timur
Kolom Hasymi Ibrahim: Pernikahan
Bagi banyak pihak, apa yang ditampilkan Walikota kita kali ini selain membanggakan, membahagiakan, juga memberi ruang percakapan
Sepanjang sejarah kita dapat membaca bahwa para tiran dan diktator bisa muncul karena menganggap jabatan dan kekuasaan yang melekat padanya adalah milik dan properti pribadi.
Bagi kita di sini, “yang publik” dan “yang privat” memang masih sulit dipisahkan dalam penyelenggaraan kekuasaan. Hal ini antara lain karena faktor kultural.
Sepanjang Orde Baru misalnya, kita “dipaksa” menganggap bahwa Soeharto adalah Bapak dan kepala keluarga dari bangsa Indonesia dan kita semua adalah anak-anaknya yang harus tunduk dan patuh padanya. “ Bapakisme ” inilah yang menyebabkan Soeharto menjadi anti kritik dan oposisi sehingga bisa melanggengkan kekuasaannya.
Pada situasi ini, pemisahan antara “yang privat dan “yang publik” menjadi tidak mungkin. Dan situasi inilah yang terbawa-bawa hingga kini.
Faktor-faktor kultural seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian dan butuh ditransformasikan agar kompatibel dengan sistim demokrasi yang kita anut.
Tapi terkait dengan campur aduk urusan publik dan pribadi, ada satu nilai dasar yang inheren dalam kultur kita yang dapat dipakai menjadi batas yaitu nilai kepantasan dan kepatutan. ***