Resonansi Tribun Timur
Kolom Hasymi Ibrahim: Pernikahan
Bagi banyak pihak, apa yang ditampilkan Walikota kita kali ini selain membanggakan, membahagiakan, juga memberi ruang percakapan
Pernikahan
Oleh: Moch Hasymi Ibrahim
Budayawan
TRIBUN-TIMUR.COM - Walikota Makassar menikahkan anaknya pekan ini. Sebagai warga kota kita tentu turut berbahagia.
Apalagi misalnya, dalam prosesi adat yang dijalankan, hampir semua elemen adat perkawinan Makassar asli ditampilkan nyaris sempurna - (ingat, kesempurnaan hanya milik Allah).
Walikota Danny Pomanto sebagai orang tua, tentu amat bahagia dan bangga.
Sebagai “arsitek” berbagai gagasan dan kebijakan di kota Makassar, “mengarsiteki” pernikahan putrinya sendiri tentu bukan perkara sulit.
Seluruhnya ditata dengan apik, termasuk presisi timing pada tiap item acara, dengan pesan yang ingin disampaikan: bersahaja, berkelas dan mewah.
Dan dapat pula ditambahkan, mahal. Kesan ini dapat dilihat dari nilai mahar yang secara iklas kemudian diserahkan ke Badan Amil Zakat.
Gagasan dan langkah menyerahkan mahar pernikahan sebagai zakat, kedengarannya masih amat jarang terdengar, bahkan baru kali ini.
Kalau pun mungkin ada yang telah melakukannya, tapi tidak terpublikasikan. Dan karena ini adalah hajatan amat penting dari Walikota kita, maka publisitas menjadi hal yang selain sangat penting, juga tak terhindarkan.
Bagi banyak pihak, apa yang ditampilkan Walikota kita kali ini selain membanggakan, membahagiakan, juga memberi ruang bagi percakapan tentang “yang publik” dan “yang privat”.
Kita tahu, jabatan Walikota adalah jabatan publik. Tugas, wewenang dan tanggungjawabnya terkait dengan seluruh aspek urusan publik.
Tapi kita juga tahu bahwa seorang Walikota adalah seorang pribadi yang secara alamiah memiliki wilayah privat.
Dalam hal Walikota kita, wilayah privat itu misalnya terkait dengan posisinya sebagi orang tua, ayah dan kepala keluarga yang menikahkan anaknya, sama persis dengan kita semua.
Persoalan kemudian bisa timbul ketika secara struktural batas-batas tegas antara kedua hal itu diabaikan.
Tidak jarang kita menemukan pejabat publik yang amat sulit memisahkan antara urusan pribadi dan urusan dinas.
Sepanjang sejarah kita dapat membaca bahwa para tiran dan diktator bisa muncul karena menganggap jabatan dan kekuasaan yang melekat padanya adalah milik dan properti pribadi.
Bagi kita di sini, “yang publik” dan “yang privat” memang masih sulit dipisahkan dalam penyelenggaraan kekuasaan. Hal ini antara lain karena faktor kultural.
Sepanjang Orde Baru misalnya, kita “dipaksa” menganggap bahwa Soeharto adalah Bapak dan kepala keluarga dari bangsa Indonesia dan kita semua adalah anak-anaknya yang harus tunduk dan patuh padanya. “ Bapakisme ” inilah yang menyebabkan Soeharto menjadi anti kritik dan oposisi sehingga bisa melanggengkan kekuasaannya.
Pada situasi ini, pemisahan antara “yang privat dan “yang publik” menjadi tidak mungkin. Dan situasi inilah yang terbawa-bawa hingga kini.
Faktor-faktor kultural seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian dan butuh ditransformasikan agar kompatibel dengan sistim demokrasi yang kita anut.
Tapi terkait dengan campur aduk urusan publik dan pribadi, ada satu nilai dasar yang inheren dalam kultur kita yang dapat dipakai menjadi batas yaitu nilai kepantasan dan kepatutan. ***