Klakson
Adakah Ramadan di Tubuh Kita?
Ramadan ini tentu berbeda dua tahun terakhir--saat manusia dihantui ketakutan akut oleh Covid 19 yang kejam itu.
Oleh: Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora
Ramadan ini tentu berbeda dua tahun terakhir--saat manusia dihantui ketakutan akut oleh Covid-19 yang kejam itu.
Orang-orang dilarang berkerumun (tarwih dan berbuka puasa bersama).
Disaat itu, Ramadan terasa hambar. Kita memang menahan lapar dan dahaga. Tetapi disaat bersamaan, kitapun menahan berjamaah.
Padahal, saripati Ramadan sebagai peristiwa agama dan kebudayaan adalah saat kita berjamaah.
Entah berjamaah tarawih, entah berjamaah buka bersama.
Sebab Ramadan pada dasarnya adalah momentum ibadah yang mengutamakan solidaritas.
Karena itu esensi ramadan adalah penguatan solidaritas kemanusiaan.
Kini, Ramadan bergairah lagi tanpa batas-batas itu, kecuali pejabat publik dilarang keras menggelar buka puasa bersama.
Kini Ramadan tak lagi dibaluti kecemasan virus. Ibadah solidaritas dapat digairahkan lagi.
Barangkali dengan itulah diluar sana, ramadan disambut dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Di panggung Medsos misalnya, Ramadan disambut dengan beragam status nitizen, atau dengan pamflet digital disertai foto diri dengan kalimat "selamat memasuki bulan suci ramadan".
Lantas di sini kita disergap sebuah pertanyaan rumit; kitakah yang memasuki Ramadan, atau Ramadan memasuki kita?
"Memasuki Ramadan" berarti ketaatan total pada dimensi hukum Ramadan.