Opini Tribun Timur
HAM dan Nikah Beda Agama
Namun hanya sedikit yang mampu mempertahankan perasaan cinta kepada pasangannya, sisanya adalah perkara kebutuhan; biologis, ekonomis, dan populis.
Pasal 2 ayat (1) misalnya menyatakan sahnya perkawinan, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Perkara pernikahan (memilih pasangan hidup) dan agama adalah hak setiap warga negara yang mesti dilindungi.
Negara tidak punyak hak mengintervensi kebebasan setiap warganya.
Dilemanya adalah ketika pernikahan dalam kacamata HAM merupakan hak setiap orang menentukan pilihan, di sisi lain, agama “menghalangi” pernikahan beda agama sesaui ajaran yang diyakini.
Penerapan HAM di Indonesia tidak dilakukan dengan konsep sekularisme yang menyebabkan disintegrasi pancasila.
Dipaksa memilih antara kebebasan hak asasi atau aturan syariah agama.
Penolakan Pernikahan
Gugatan pernikahan beda agama kepada MK kembali ramai dibahas ketika melihat ada kecacatan aturan hukum sebab menghalang-halangi hak kebebasan warga dalam menentukan pasangan hidup.
Namun MK menolak gugatan sebab menurutnya pernikahan beda agama merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia.
E. Ramos Patege melayangkan uji materi (judicial review) terhadap UU No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan.
Menurut MK, perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial.
Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan UU menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.
Aktualisasi pernikahan di banyak negara asing menjelaskan bahwa hukum agama diserahkan pada masing-masing pasangan.
Negara tidak boleh mengintervensi, kecuali hubungannya dengan keperdataan.
Pelarangan pernikahan beda agama membuat seseorang nekat untuk menjadikan agama barang komuditas, yakni pindah agama hanya untuk syarat menikah.