Opini Tribun Timur
HAM dan Nikah Beda Agama
Namun hanya sedikit yang mampu mempertahankan perasaan cinta kepada pasangannya, sisanya adalah perkara kebutuhan; biologis, ekonomis, dan populis.
Joko Yuliyanto
Esais/Penggagas komunitas Seniman NU
Pernikahan dipahami sebagai tradisi sebagai jalan martir dari cinta yang harus dikorbankan.
Namun hanya sedikit yang mampu mempertahankan perasaan cinta kepada pasangannya, sisanya adalah perkara kebutuhan; biologis, ekonomis, dan populis.
Demikian yang mendasari besarnya jumlah angka perceraian, maraknya poligami, dan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Ada dua diskursus yang menarik tentang pernikahan yakni, apakah harus menikah dahulu lalu mencintai ataukah mencintai dahulu lalu menikah?!
Namun realita di masyarakat dominan mendahulukan cinta sebelum menikah dengan dalih mencari kecocokan demi menjalin hubungan yang langgeng.
Pencarian pasangan (jodoh) ini yang menjadi permasalahan klasik dunia pernikahan, termasuk bertemunya pasangan beda agama.
Sebelum menikah, pasangan harus memiliki orintasi terhadap tiga hal, melestarikan keturunan, persaudaraan, dan hubungan seksual.
Sedangkan pengetahuan pascanikah merupakan tahapan yang pasti dihadapi oleh suami istri, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kebahagiaan dalam relasi pernikahan.
Urusan pernikahan, manusia memiliki hak untuk menentukan kebahagiaan dan bebas memilih pasangan hidup.
Namun dalam perjalanannya, adanya keluarga kecil diawali dengan peristiwa hukum yang disebut perkawinan.
Maka perkawinan dinilai sebagai lembaga yang menentukan kedudukan seseorang di mata hukum, karena peristiwa hukum akan menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban.
Di Indonesia, bahkan ada Undang-Undang (UU) khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU Perkawinan tidak mengatur secara utuh dan jelas kasus pernikahan beda agama.