Opini Tribun Timur
HAM dan Nikah Beda Agama
Namun hanya sedikit yang mampu mempertahankan perasaan cinta kepada pasangannya, sisanya adalah perkara kebutuhan; biologis, ekonomis, dan populis.
Perubahan zaman yang begitu cepat menjadi tantangan negara untuk membuat aturan yang lebih kontekstual.
Melubernya informasi dan keterbukaan media berpotensi terjadinya banyak pernikahan beda agama.
Apalagi mulai banyak orang yang memilih pindah agama sebagai hak dasar warga negara.
Di sisi lain, HAM juga perlu dibatasi pengaruhnya agar tidak terjebak pada konsep negara liberal.
Sensitivitas bahasan agama dapat menyebabkan konfrontasi di masyarakat.
Apalagi perang narasi politik identitas masih membekas dan semakin banyaknya semangat religiusitas masyarakat Indonesia.
Pemerintah tidak boleh gegabah mengambil keputusan yang berisiko terhadap perpecahan.
Sebab apapun keputusannya akan berpotensi pada kritik terhadap peraturan.
Namun jika mendiamkan aturan berlaku akan dianggap usang dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
Pemerintah harus punya idealisme menentukan konsep bernegara.
Agama tidak boleh dijadikan alasan pengambilan kebijakan yang subjektif pada satu keyakinan.
Pemerintah harus hadir mengayomi semua agama sebagai konsekuensi negara plural.
Misalpun alasan penolakan UU perkawinan sebab ajaran agama, pengambil kebijakan harus melihat secara luas ketentuan ajaran di berbagai agama di Indonesia.
Aturan ini setidaknya bisa dijadikan analisis bahwa aturan hukum lebih memihak HAM atau agama.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, aturan negara masih dianggap kaku sebab menghalangi pernikahan sebab perbedaan keyakinan.
Sedangkan pancasila sediri hanyalah representasi sistem agama, bukan secara implisit menerapkan sistem agama tertentu.(*)