Opini Sawedi Muhammad
Makassar, Kota Dunia Yang (Belum) Layak Huni
Demokratis berarti ruang publik dapat digunakan masyarakat dengan berbagai latar ekonomi, sosial, kultural dan aksesibilitas bagi berbagai kondisi
Darurat Korupsi
Melihat berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan yang melibatkan otoritas pemerintahan, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Makassar sedang dalam darurat korupsi.
Kasus yang paling heboh adalah pembangunan Rumah Sakit Batua yang diduga merugikan negara hingga 22 miliar rupiah.
Sudah ditetapkan 13 tersangka dan kasusnya sudah ditangani pihak kepolisian. Keterlibatan 13 orang dalam kasus ini memberi indikasi kuat bahwa mentalitas korup di berbagai lapisan pemerintahan sudah semakin mengkhawatirkan.
Fakta yang memilukan adalah dari 13 tersangka, dua diantaranya adalah adik-kakak dan terdapat dua tersangka lainnya adalah bapak dan anak. Kasus lain yang juga diduga merugikan negara dalam jumlah besar adalah kelebihan pembayaran tantiem dan bonus jasa produksi di PDAM Makassar tahun 2017-2019. Dugaan kerugian negara ditaksir sebesar 31 miliar rupiah.
Kasus lain yang cukup menghebohkan adalah dugaan mark-up gaji honorer di OPD Pemkot Makassar. Hal ini diungkapkan Walikota usai mengevaluasi pembahasan APBD 2021 yang mencapai angka 500 miliar rupiah.
Menurut Walikota, jumlah tenaga honorer sebanyak 12 ribu orang. Kalau dihitung rata-ratanya, jumlah gaji satu tenaga honorer bisa mencapai 5 jutaan per bulan.
Padahal menurut fakta di lapangan, normalnya gaji mereka antara 1,5 juta hingga 2,3 juta rupiah (Antara, 5/11/2021).
Beberapa kasus lainnya yang terindikasi ada dugaan korupsi dan penyelahgunaan wewenang adalah proyek pengadaan CCTV di Diskominfo, pemecatan 26 ASN, pengadaan pohon ketapang, serta dugaan korupsi bansos Covid-19 tahun 2020.
Melihat deretan berbagai kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang, maka tidak mengherankan apabila di tahun 2020 Transparency International Indonesia (TII) merilis survey tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di 12 kota besar di Indonesia.
Indikator yang dijadikan penilaian adalah prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, dampak korupsi dan efektivitas pemberantasan korupsi. Hasilnya menempatkan kota Makassar sebagai kota terkorup kedua dengan nilai 53,4 setelah kota Medan dengan nilai 37,4 (Wartakota, 24 November, 2020). Masih tentang korupsi.
Hasil Survey Penilaian Integritas yang dilakukan oleh KPK tahun 2021 di seluruh pemerintah daerah di 98 kementerian/lembaga, di 34 Provinsi dan 508 kota, menempatkan Makassar di rangking ke 647, sekaligus urutan terendah ketiga dari 24 kabupaten kota di Sulsel (Tribun Timur, 24 Desember, 2021). Dari segi prevalensi dan persepsi korupsi, Makassar tidak sedang baik-baik saja.
Beberapa Rekomendasi
Sebagai catatan akhir, penulis ingin menyarankan beberapa hal kepada walikota. Pertama, fokus merealisasikan visi misi sesuai janji kampanye dengan memprioritaskan penyelesaian RDTR yang sedang dalam proses pembahasan.
Tanpa RDTR, kebiasaan membangun mengikuti pola tiba masa tiba akal akan terus berlanjut.
Sebagai seorang city planner, walikota harus konsisten membangun kota melalui navigasi tata ruang yang menjamin optimalisasi pemanfaatan ruang untuk semua kepentingan, menjawab permasalahan kesenjangan wilayah, masalah lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan dan menjamin integritas bangsa.
Kedua, program resetting pemerintahan yang dicanangkan tidak sekadar seleksi dan rotasi pejabat di lingkup pemkot berdasarkan kepentingan politis sesaat tetapi sebagai program yang akan merevolusi mentalitas aparat birokrasi sebagai pelayanan masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas.
Ketiga, membangun kota tidak melulu tentang infrastruktur fisik yang megah. Kebutuhan warga yang sangat mendesak adalah transportasi kota yang terintegrasi, trotoar yang nyaman untuk berjalan kaki, ruang publik dan taman-taman kota yang hijau, jalur sepeda yang aman, kemacetan yang terurai serta kota yang bebas banjir.
Masyarakat tidak membutuhkan jargon-jargon bombastis yang membahana di setiap acara formal dan di setiap pidato pemimpin kota. Masyarakat butuh kenyamanan dan keamanan di manapun mereka beraktifitas di seluruh penjuru kota. Masyarakat biasa seperti saya hanya memimpikan satu hal di kota yang semakin padat merayap; menjadi warga kota yang bahagia.(*)