Opini Sawedi Muhammad
Makassar, Kota Dunia Yang (Belum) Layak Huni
Demokratis berarti ruang publik dapat digunakan masyarakat dengan berbagai latar ekonomi, sosial, kultural dan aksesibilitas bagi berbagai kondisi
Kehebohan Makassar Recover tidak berhenti sampai di situ. Pemkot kemudian merekrut apa yang disebutnya sebagai Covid Hunter, Satgas Detektor, dan Satgas Raika.
Pelantikan Covid Hunter, Satgas Detektor, dan Satgas Raika itu digekar di Karebosi menimbulkan reaksi publik yang mengecamnya karena mengumpulkan ribuaan orang dalam waktu bersamaan di saat puncak penyebaran virus Covid-19.
Kerumunan tak terhindarkan. Kontroversi berlanjut karena Satgas Detektor menyasar rumah-rumah penduduk untuk memeriksa kesehatan warga tanpa dibekali baju pelindung sesuai standar.
Jumlah Satgas Detektor sangat besar. Tim ini melibatkan 15.306 orang yang terdiri dari 10.000 relawan, 5.000 tenaga kesehatan dan 306 dokter (Suarasulsel.id, 03 Juli 2021).
Belakangan diketahui bahwa sampai bulan Oktober 2021, insentif Relawan Satgas Detektor Covid Makassar belum juga terbayarkan. Jumlahnya tidak main-main. Nilai insentif relawan mencapai angka 3 miliar rupiah (iNewsSulsel.id, 14 Oktober, 2021).
Kontroversi Makassar Recover terus berlanjut. Publik masih ingat tempat isolasi di kapal penumpang Umsini yang banyak kecoaknya dan pengadaan kontainer di masing-masing kelurahan.
Untuk kasus terakhir, pengadaan posko kontainer diduga merugikan keuangan negara dan Polda Sulsel sementara memeriksa camat di Makassar. (Tribun-Timur, 2 Desember, 2021).
Publik juga menunggu laporan realisasi pengeluaran 370 miliar rupiah untuk program Makassar Recover sebagai wujud transparansi penggunaan anggaran.
Tata Ruang yang Semrawut
Sesuai dengan semangat UU No. 2/2007 tentang Penataan Ruang, ruang publik ditandai oleh tiga hal yang saling terkait; responsif, demokratis dan bermakna.
Responsif berarti ruang publik dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan kegiatan masyarakat secara luas.
Demokratis berarti ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat dengan berbagai latar ekonomi, sosial, kultural dan aksesibilitas bagi berbagai kondisi fisik manusia.
Bermakna berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas dengan konteks sosialnya. Tidak mudah memenuhi ketiga aspek dalam penataan ruang seperti disebutkan di atas. Makassar yang berjargon kota dunia pun terseok-seok mewujudkannya. Kota Makassar bahkan melakukan banyak pelanggaran penataan ruang.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Wilayah (RTRW), kabupaten/kota harus menetapkan bagian dari wilayahnya dan menyusun Rencana Detail Tata Ruangnya (RDTR).
Rencana Detail ini harus ditetapkan paling lama 36 bulan sejak ditetapkannya Perda RTRW.