Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Sawedi Muhammad

Makassar, Kota Dunia Yang (Belum) Layak Huni

Demokratis berarti ruang publik dapat digunakan masyarakat dengan berbagai latar ekonomi, sosial, kultural dan aksesibilitas bagi berbagai kondisi

Editor: AS Kambie
Tim Appi-Rahman
Dr Sawedi Muhammad, Sosiolog Unhas 

Pemkot Makassar telah menetapkan Perda No.4/2015. Sampai saat ini, Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang belum juga disahkan.

Sebelum ditetapkan Perda RTRW 2015, Direktorat Pengendalian Perkotaan Kementerian Pekerjaan Umum mendapat temuan pelanggaran indikasi ketidaksesuaian tata ruang pada 14 titik di kota Makassar.

Pelanggaran itu tersebar di Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya, Tallo, Mamajang, Makassar, Ujung Pandang, Wajo dan Panakkukang (Indotimnews, 7 Agustus, 2014).

Karena ketiadaan RDTR sementara pembangunan infrastruktur perkotaan terus berlanjut, maka pelanggaran penataan ruang semakin masif.

Hasilnya, penampakan kota semakin semrawut dan tidak teratur. Kota semakin macet, rawan banjir dan semakin jauh dari kualitas kota dunia.

Solusi idelanya adalah, seluruh rencana pembangunan infrastruktur perkotaan harus ditangguhkan sebelum RDTR ditetapkan oleh pemerintah kota.

Nafsu untuk membangun infrastruktur tanpa kesesuaian dengan penataan ruang hanya akan membuat kota semakin tidak layak huni dan membuat warganya semakin menderita.

Tulisan ini mengingatkan agar pemerintah kota menghentikan rencana pembangunan sirkuit balap dan Gedung Olahraga di Untia karena tidak sesuai dengan RTRW.

Di dokumen RTRW yang ditetapkan melalui Perda No. 4/2015 pasal 20 menyebutkan bahwa sub-Pusat Pelayanan Kota pada kawasan Untia meliputi sebagian Tamalanrea dan sebagian Biringkanaya dengan fungsi sebagai pusat kegiatan perumahan kepadatan sedang, kepadatan tinggi, pusat layanan Penelitian dan Pendidikan Tinggi dan pusat kegiatan kemaritiman.

Kawasan pesisir Untia adalah kawasan konservasi yang menjadi benteng terakhir pelestarian hutan mangrove sekaligus sebagai Ruang Terbuka Hijau yang menjadi paru-paru kota Makassar. Untia bukan untuk kawasan pembangunan infrastruktur olahraga. Untuk pusat pelayanan budaya dan olahraga, RTRW menetapkan di kawasan Mattoangin, Daya dan Barombong,

Kota Tidak Layak Huni

Karena berbagai kesemrawutan dan keserampangan dalam pembangunan, pada tahun 2017, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) melalui Indonesia Most Livable City Index (MLCI) menempatkan Makassar sebagai kota yang paling tidak layak huni diantara 26 kota di Indonesia.

Makassar berada dalam kategori Bottom Tier City dengan nilai terendah 55,7. Indikator penilaian kota layak huni meliputi ketersediaan kebutuhan dasar, ketersediaan fasilitas umum dan sosial, ketersediaan ruang publik, keamanan dan keselamatan, kualitas lingkungan, dukungan fungsi ekonomi, sosial dan budaya kota, serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Temuan IAP yang sangat memiriskan adalah Indeks Livability kota Makassar yang terus menurun dari tahun ke tahun.

Catatan khusus yang menjadi top issues dari penilaian MLCI dan harus menjadi perhatian pemerintah kota adalah fasilitas pejalan kaki, keselamatan dari bencana, kemacetan, keterjangkauan hunian dan partisipasi warga dalam pembangunan. Kelima isu tersebut di atas tidak bisa dipungkiri adalah isu utama yang dihadapi warga Makassar dari waktu ke waktu.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved