Opini Tribun Timur
Serpihan Sejarah Cikoang - Laikang
Mungkin hanya Laikang, sebuah kerajaan lokal di jazirah Selatan Sulsel, yang para bangsawannya sejak abad XVIII mengakui bernasab Sayyid
AM Sallatu
Tokoh Masyarakat Turatea
Mungkin hanya Laikang, sebuah kerajaan lokal di jazirah Selatan Sulsel, yang para bangsawannya sejak abad XVIII mengakui bernasab Sayyid dari trah Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Dalam catatan sejarah Randy Ibrahim Bafaqih (Alfaqir Al-Aidid, May 14, 2010) mengungkapkan bahwa adalah Al-Imam Sayyid Ahmad Al-Muhajir, yang merupakan turunan ke-9 Nabi Muhammad SAW yang berhijrah ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk tujuan syiar Islam, kawin mawin dan beranak cucu di sana.
Di antara keturunannya adalah Al-Imam Sayyid Muhammad Maula Al-Aidid, yang merupakan turunan Nabi Muhammad SAW ke-22, yang salah seorang keturunannya berhijrah ke Aceh, juga untuk tujuan syiar Islam dan memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan disana.
Diantara keturunannya, Sayyid Abdullah Bafaqih yang selanjutnya melahirkan Sayyid Syaich Jalalluddin Bafaqih Al-Aidid.
Tercatat bahwa Sayyid Jalaluddin dilahirkan di Aceh pada tahun 1603, yang berhijrah ke Gowa pada tahun 1632, merupakan turunan ke-29 Nabi Muhammmad SAW, juga untuk tujuan syiar Islam.
Namun sudah lebih dahulu sejumlah Datuk melakukan syiar Islam, sehingga Sayyid Jalaluddin ini kemudian berpindah ke Cikoang.
Dalam catatan sejarah dan juga dalam sejumlah penuturan, kehadiran Sayyid Jalaluddin di Cikoang memiliki hikayat yang melegenda.
Tercatat bahwa Sayyid Jalaluddin merupakan guru spiritual Sultan Hasanuddin selama belasan tahun bahkan memberi nama Al-Baqir di depan nama IMallombasi, dan juga Syech Yusuf belajar mengaji padanya dan yang menyarankannya untuk mendalami Islam ke Tanah Suci Mekah.
Sayyid Jalaluddin mengawini putri bangsawan Gowa, yaitu anak dari Sultan Abdul Kadir, bergelar Karaengta Riburane.
Sultan Abdul Kadir adalah salah seorang putra Sultan Alauddin, Raja Gowa yang secara resmi menetapkan Agama Islam sebagai agama kerajaan pada tahun 1605.
Sayyid Jalaluddin tidak hanya bergiat dalam syiar Islam, tetapi juga ikut berjuang melawan VOC Belanda, dan setelah Perjanjian Bungaya lebih memilih untuk ikut bersama Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu meninggalkan Gowa untuk tetap berjuang.
Hanya saja kemudian memisahkan diri dan memilih untuk berjuang di Bima, Nusa Tenggara, sampai akhir hayatnya, dan karena itu makamnya ada disana.
Syiar Islam di Cikoang dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Sayyid Umar Al Aidid, atau lebih dikenal dengan sebutan Tuanta Toaya.