Kajian Wali Wanua
FPI Jadi Partai? Akademisi Bugis-Makassar Ingatkan Islam Yes Partai Islam No: Eppa Sulapa Lebih Pas!
kombinasi karakter BJ Habibie, Quraish Shihab, Jenderal M Jusuf, dan Baharuddin Lopa bentuk untuh peradaban Islami yang tercerahkan, Eppa Sulapa
Lalu, lanjut Prof Qasim Mathar, belajar jugalah dari Golkar dan kini Partai Golkar. Golongan yang kini menjadi partai politik ini sudah malang melintang dalam sejarah politik Indonesia.
“Dari parpol yang unggul mutlak di zaman Orba, lalu ‘tiarap’ di awal reformasi tanpa (tidak sudi) di posisi oposisi. Kini bangkit lagi menggeser posisi parpol tua sezaman, seera reformasi, dan yang muda yang kurang pengalaman,” kata Prof Qasim Mathar.
“Saya berpendapat, Golkar menikmati semua fragman dalam lintasan sejarah perpolitikan di Indonesia. Kini, Golkar tetap direken sebagai parpol ‘singa tua’. Mungkin juga seperti PDI-P yang sezaman Golkar ketika ia masih PDI,” jelas Prof Qasim Mathar menambahkan.
Berdasar fakta sejarah itu, Prof Qasim Mathar menduga mayoritas rakyat Indonesia lebih tertarik pada partai sekular. Kalau pun ke partai Islam, mereka lebih suka partai Islam yang moderat.
“Hemat saya, faktornya karena rakyat banyak, yang dalam pemilu menjadi sang mayoritas, lebih suka kepada parpol sekular. Dan, kalau parpol Islam, rakyat lebih suka kepada yang moderat.
Mengingatkan lagi, Prof Qasim Mathar, menilai kata kunci Cak Nur dalam konteks parpol Islam masih relevan tapi sudah diabaikan kebanyakan politisi muda Islam.
“Dalam konteks parpol Islam, Cak Nur sudah memberi kata kunci, Islam yes partai Islam No. Tesis itu dipakai oleh tokoh-tokoh HMI dulu untuk aktif di Golkar dan PDI-P, atau Demokrat. Tapi, sebagian anak-anak HMI milenial meninggalkan tesis Cak Nur. Akibatnya mereka selalu di pos oposisi, sementara rezim berjalan dan berganti secara reguler konstitusional,” jelas Prof Qasim Mathar.
“Tapi, maukah eks FPI mengikuti fatwa Cak Nur?” ujar Prof Qasim Mathar menambahkan.
Menanggapi uraian panjang Prof Qasim Mathar, pendetus Wali Wanua Taslim Arifin mengatakan, penting juga dicerna pada era ini seperti apa tafsir kita tentang tesis Cak Nur bahwa Islam yes partai Islam No.
“Bila tujuan sekelompok orang, atau sejumlah fikiran yang menyatu dalam keinginan untuk mengubah kehidupan atau karakter masyarakat, maka memang tidak cukup hanya melalui ajakan atau dakwah sebagaimana yang dihalalkan oleh Cak Nur dalam mengembangkan Islam,” jelas Taslim Arifin.
Menurut Taslim Arifin, Indonesia di-Islamkan bukan hanya melalui dakwah, melainkan juga dengan jalan lain yang sangat komplek yang menggambungkan seluruh kemungkinan yang membuat, baik para elite atau para bangsawan, kelompok menengah para cerdik cendikia dan para pelaku bisnis, dan juga rakyat jelata dalam menggantungkan harapanya ke arah yg lebih baik.
“Jadi saya menilai tafsiran ‘hitam putih’ terhadap tesis Cak Nur dapat menjadi jebakan idiologis yang dapat melemahkan perjuangan menuju peradaban yang diinginkan oleh Islam,” ujar Taslim Arifin.
Yang perlu diperhatikan oleh pemimpin Islam, menurut Taslim Arifin, adalah alat dan cakupan perjuangan.
“Sehingga yang perlu memperoleh perhatian bagi para pemimpin Islam adalah bahwa bukan berpolitik atau tidak berpolitik, melainkan metode perjuangan, alat perjuangan, dan cakupan perjuangan holistik dalam suatu sistem yang menetapkan negara sebagai alat pengendali, pengayom bagi bangsa menuju suatu tujuan peradaban yang lebih baik,” jelas Taslim Arifin.
“Partai partai politik yang diuraikan oleh Bung Qasim (Prof Qasim Mathar) memang mendatangkan perubahan dari sisi materi, jumlah nominal material yang diperoleh setiap individu, tetapi tidak melahirkan perubahan nilai-nilai kehidupan berbangsa,” kata Taslim Arifin menambahkan.