Klakson
Masyarakat
Baliho itu terpajang ditempat ramai hingga di tempat sunyi yang saban hari dilintasi babi-babi liar, biawak tak bertuan hingga burung-burung hantu.
Tetapi sayangnya akar masalah dilapis bawah hanya terdengar samar dibicarakan.
Namun ini bukanlah masalah serius.
Sebab itu terjadi sejak dulu.
Sejak Pilkada menjadi sesuatu yang turun-temurun.
Ada yang berbicara tentang pentingnya infrastruktur yang layak untuk kesejahteraan masyarakat, namun tak tahu sama sekali berapa jumlah jembatan rusak di daearahnya.
Ada yang bilang tentang keterpurukan ekonomi masyarakat, namun tak jelas sebab-musabab identitas keterpurukan itu.
Ada yang hendak membangun masjid di kampung-kampung untuk membangun kesalehan ummat.
Padahal, mungkin saja ummat di desa-desa lebih taat beribadah dibanding kaum-kaum lain.
Barangkali ummat di desa-desa lebih takut pada Tuhan dibanding puak-puak lain yang sering menyerobot hak-hak manusia lain.
Barangkali ini terdengar konyol, tetapi begitulah satu sisi wajah politik kita.
Kita menemukan begitu akrabnya lidah calon-calon pemimpin kita akan kata “masyarakat”.
Dan dalam keadaan tertentu, mereka bak misseanis (ratu adil).
Mereka datang laksana ratu adil membawa pesan dan harapan akan kebaikan hidup masyarakat melalui baliho hingga pelosok dan layar-layar medsos.
Di zaman kuno dulu, ratu adil turun di gunung-gunung, di pinggir laut luas, dan alam bebas lainnya.
Kini ratu adil turun melalui baliho dengan segala keindahannya.
Namun sayangnya, ratu adil di zaman Pilkada ini muncul di tengah perebutan kursi kekuasaan dengan segala modusnya.