'Pabrik Uang' Djoko Tjandra di Properti hingga Setya Novanto Eks Ketua Partai Golkar dan DPR Terkait
Inilah "pabrik uang" Djoko Tjandra di properti hingga Setya Novanto eks Ketua Partai Golkar dan DPR terkait.
Namun, rupanya Bank Indonesia (BI) tidak segera membayarkan piutang Bank Bali tersebut.
Sebab, berdasarkan hasil verifikasi BI, tak ada satu pun dari 10 transaksi antara Bank Bali dan BDNI yang memenuhi syarat untuk dibayar.
Alasannya, transaksi antara BDNI dan Bank Bali terlambat didaftarkan serta terlambat diajukan.
Piutang Bank Bali awalnya adalah transaksi forward yang tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin.
Namun, entah apa yang terjadi kemudian, transaksi itu berubah statusnya menjadi pinjaman antarbank.
Untuk menagih pinjaman antarbank itulah, Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie pada 11 Januari 1999.
Bank Bali memberikan hak penagihan piutang kepada PT Era Giat Prima, hitam di atas putih, berupa cessie atau pengalihan hak penagihan kepada pihak ketiga.
Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli beralasan, pencairan dana penjaminan dari BI atas piutang Bank Bali terhadap BDNI sulit dilakukan.
Oleh karena itu, cessie pun ditempuh dengan menggandeng PT Era Giat Prima.
"Kalau setiap hari dirongrong oleh ketidakpercayaan nasabah, siapa yang tahan Mas," kata Rudy Ramli seperti dikutip dari Harian Kompas, 6 Agustus 1999.
Dalam proses, menurut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), beberapa dokumen terkait cessie tersebut tidak terungkap dalam laporan auditor Bank Bali.
Meskipun demikian, justru Standard Chartered Bank (SCB) yang mengungkapkan hal itu dalam laporan due diligence-nya pada 20 Juli 1999.
SCB adalah investor asing yang waktu itu sepakat membeli 20 persen saham Bank Bali.
Dalam laporannya, SCB menemukan, antara lain, terjadinya tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank Rp 904 miliar.
SCB juga menemukan adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen Bank Bali.