Opini Aswar Hasan
Ketika Kebenaran Diucapkan Si Munafik dan Kebatilan Disuarakan Sang Bijak
Mu’adz bertanya;“Bagaimana saya bisa tahu bahwa orang bijak kadang mengucapkan kata-kata sesat sedang orang munafik kadang mengucapkan kata kebenaran?
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin dan mantan Sekjen KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) Sulsel,
Judul tulisan ini terkesan sangat dikotomik (bertentangan) karena kebatilan identik dengan kemunafikan dan kebajikan adalah kebenaran itu sendiri.
Demikian memang asumsinya dan sudah menjadi persepsi umum bahwa orang bijak itu penyuara kebenaran dan kemunafikan itu, sumber kebatilan. Kita semua memahaminya demikian.
Tetapi jika menyimak secara kasuistik, terkait relativitas subyektivistik individu sebagai manusia yang punya nurani dan hawa nafsu yang acap kali tersentuh secara halus atau jebol karena tak terkendali, maka identitas, label dan klaim identitas subyektif itu, kerap membuat kita tertipu.
Betapa tidak, karena kebenaran dan kebatilan itu, tidak melekat dengan sendirinya, lantas menjadi milik tetap subyek tertentu, siapa pun.
Mungkin ada hubungannya dengan istilah mantan bajingan, dan mantan ustaz (orang alim yang jadi jahat).
• BEDA: Mengenal Geopark Maros-Pangkep dari Sang Inisiator
Atau mungkin istilah yang kerap kita dengar; “laksana musang berbulu domba” alias orang jahat yang berpenampilan orang baik-baik.
Kebenaran itu bukanlah milik siapa-siapa pun ia bisa ada di mana saja dan pada siapa saja. Kebenaran itu laksana cahaya yang bisa dikenali pada siapa pun, di mana pun tanpa terkecuali pada siapa dia melekat.
Klaim kebenaran bisa dilakukan oleh siapa saja karena pemilik kebenaran itu, bukan siapa-siapa. Kebenaran itu adalah milik yang Maha Benar itu sendiri yaitu Allah.
Oleh sebab itu kebenaran bisa saja datangnya dari mana saja sesuai kehendak pemilik kebenaran itu (Allah).
Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (al-Baqarah: 147).
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya atas ayat tersebut, menyatakan bahwa keraguan yang dimaksud oleh ayat ini, bukan syakk, yang menimbulkan pertanyaan dalam rangka menemukan kebenaran.
Tetapi ia adalah keraguan yang melahirkan pertengkaran akibat niat buruk yang muncul dari hati bejat untuk mempersalahkan walau mitra dialog dalam posisi yang benar.
Pada tafsir ayat sebelumnya, Quraish menjelasakan ada 3 kelompok (pada kasus ahli kitab) dalam hal penyikapan pada kebenaran.
Pertama, kelompok yang mengetahui kebenaran dan membenarkannya. Kedua, mengetahui tapi menyembunyikannya. Ketiga, mengetahui kebenaran itu, tetapi mengingkarinya, bahkan kemudian memanipulasinya.
• Didominasi Aktivis HIPMI, Kapten Sulsel Dilantik di Makassar
Dr. Yusuf Al Qardhawi dalam kitabnya Tsaqafatuna baina al infitah wa al inghilag yang sudah diterjemahkan dengan judul Kebudayaan Islam, Eksklusif atau Inklusif, menulis salah satu bab dengan judul; “Orang Munafik Kadang Mengucapkan Kebenaran.
Dalam Bab tersebut, Qardhawi menulis, dari Muadz bin Jabal R.A., Abu Daud telah meriwayatkan sejumlah kata mutiara yang dipetik dari misykat kenabian.
Dalam riwayat itu ia mengatakan bahwa orang munafik kadang mengucapkan kebenaran sebagaimana kita juga harus waspada terhadap penyimpangan yang kadang terjadi pada orang bijak.
Lebih lanjut, Qardhawi mengutip perkataan sahabat Rasulullah SAW. Sahabat tersebut oleh Rasulullah,SAW dianggap paling tahu soal halal dan haram.
Sahabat itu berkata; ”Waspadalah terhadap hal-hal yang diada-adakan itu adalah kesesatan. Saya peringatkan kalian akan penyimpangan orang bijak karena setan kadang mengucapkan kata kesesatan melalui lidah orang bijak, dan orang munafik kadang mengucapkan kata kebenaran!
Salah seorang sahabat Mu’adz bertanya; “Bagaimana saya bisa tahu bahwa orang bijak kadang mengucapkan kata-kata sesat sedang orang munafik kadang mengucapkan kata kebenaran?
Muadz menjawab; “ Benar, jauhilah ucapan-ucapan masyhur orang bijak (ucapan mutasyabihat ) yang dikomentari dengan 'apa ini' namun janganlah hal itu menjauhkanmu darinya karena boleh jadi ia akan kembali lagi. Dan terimalah kebenaran jika engkau mendengarnya karena di atas kebenaran ada cahaya (mutafaq alaih dari Abu Hurairah).
Terimalah kebenaran itu, karena di atas kebenaran ada cahaya.
Maksudnya, meski pun ucapan itu keluar dari orang munafik, karena cahaya yang menyeliputi kebenaran akan menunjukkannya, dan ini tidak tersembunyi bagi orang-orang yang berakal yang mengembalikan segala hal kepada kitab suci dan neraca kebenaran yang diturunkan Allah.
Demikian ulasan Qardhawi.
• UPDATE Corona Sulsel, Sulbar, Sultra, Gorontalo, Kaltara, Kaltim dan Kalteng, Bikin Khawatir!
Lebih lanjut, masih dalam buku tersebut, Qardhawi menyatakan bahwa Imam Al Ghazali pernah mengeluhkan penyakit kaum muslimin yang menolak kebenaran jika itu datangnya dari non-muslim.
Beliau menganggapnya sebagai penyakit besar. Misalnya, seseorang yang mendengar orang Nasrani mengatakan; “ Tidak ada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Rasul Allah ( utusan Tuhan). Orang Muslim itu akan mengingkarinya dan berkata; “ ini ucapan orang Nasrani”.
Orang yang berakal akan meneladani pernyataan Ali bin Abi Thalib,RA Yang mengatakan; “Janganlah kau kenali kebenaran dari orang-orangnya, tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya engkau akan mengenal siapa pemiliknya”.
Orang yang berakal akan mengetahui kebenaran dengan melihat pada ucapan (teks) itu sendiri.
Jika benar, akan ia terima sekali pun pengucapnya itu batil, apalagi benar. Bahkan akan sungguh-sungguh mengambil kebenaran itu sekalipun bersumber dari pemeluk kesesatan.
Betapa tidak, karena ia sadar dan tahu bahwa tambang emas itu ada di dalam lumpur, dan tidak mengapa ia memasukkan tangannya ke dalam lumpur demi mengambil emas murni.
• SYL Beri Bantuan Bibit ke Petani Korban Banjir di Wajo Senilai Rp 35 M
Salah satu kesesatan berpikir di kalangan umat menurut Qardhawi adalah karena telah mengaitkan secara sama dengan menisbahkan ucapan itu sebagai benar pada orang baik dalam keyakinan, kemudian menerimanya tanpa syaraT.
Meski pun sesungguhnya subtansi ucapan itu batil. Sebaliknya, jika menisbatkannya kepada orang yang menurut asumsinya buruk, niscaya ucapannya akan ditolak, sekali pun sesungguhnya itu benar.
Sebagian diantara kita telah banyak ikut tersesat, karena hanya mengenal kebenaran melalui para tokoh, cendekiawan atau pun “ulama” (taklik buta).
Bukan mengenal para tokoh, cendekiawan atau pun “ulama” karena kebenaran.
Inilah salah satu dari puncak kesesatan. Lepas dari “penyelamat dari kesesatan” Demikian kunci Yusuf Al Qardhawi, Ulama intelektual yang moderat dan banyak dikutip pendapatnya. (*)